Saat Warga Pra Sejahtera Tak Miliki Jaminan Penyangga: - Tak Mampu Berobat, Taraf Hidup Tak Layak
Saat matahari baru menampakkan gagahnya sekitar pukul 7 pagi, Fachroji (64) warga asli Desa Astanajapura, justru masih duduk termenung di kursi tua depan teras rumahnya. Hampir semenit sekali ia menutup mulutnya karena batuk.
“Batuk saya sekarang sering kambuh. Tenggorokan kena sakit radang,” keluh Oji, sapaan akrabnya, lirih.
Oji mengidap radang tenggorokan baru-baru ini, selain penyakit gula darah tinggi yang dirasa sejak 2011 silam.
Setiap hari Oji hanya menghabiskan waktunya di rumah sambil berharap penyakitnya dapat sembuh. Oji tak dirawat di rumah sakit. Ia hanya rutin meminum obat dari Puskesmas yang dibeli seminggu sekali.
Alasannya, Oji tak punya uang untuk menanggung biaya jika ia dirawat di rumah sakit. Apalagi ia juga tengah menganggur. Mebel yang ia geluti telah bangkrut beberapa tahun lalu. Sementara Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang seharusnya ia dapat agar bisa berobat gratis, juga tak kunjung didapatkan.
“Untuk membeli obat di Puskesmas saja, saya ditanggung anak-anak saya. Harganya Rp 10 ribu untuk satu obat.[i]Sudah 6 bulan lebih saya ngajuin buat KIS. Sampai sekarang belum jadi,” ungkap Oji.
Oji sebenarnya telah mengajukan permohonan kepesertaan KIS sejak enam bulan lalu melalui Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) di desa. Namun hingga kini tak ada kabar baik dari petugas Puskesos.
[gambar:2]
"Bilangnya satu kartu keluarga dapat 1 KIS dulu. Tapi sampai sekarang tidak satu pun dari keluarga kami yang memperoleh KIS,” ucapnya.
Kartu KIS yang seharusnya bisa memberikan pertolongan kesehatan bagi warga tak mampu laiknya Oji, faktanya belum semua warga di Kabupaten Cirebon memperoleh. Terlebih Oji juga tak mendapat bantuan apapun untuk keperluan kesehariannya selama sakit.
“Pernah dapat tapi itu pun bukan melalui kartu. Ada pembagian sembako dari pemerintah desa tahun lalu,” ujarnya.
Pemerintah Pusat sejak 2014, telah meluncurkan program bantuan jaminan kesehatan nasional dengan kartu KIS melalui BPJS. Selain KIS, ada pula Kartu Keluarga Sejatera (KKS) bagi masyarakat pra sejahtera untuk peningkatan taraf hidup masyarakat melalui akses pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.
Diantaranya program bantuan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH dan bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang diperoleh dalam bentuk sembako senilai Rp 300.000 selama 4 bulan.
Namun pada faktanya, tak semua warga pra sejahtera di Kabupaten Cirebon telah memperoleh. Seperti yang dialami Tarli (52), warga Desa Gebang seorang buruh tani lepas misalnya. Meski terdaftar sebagai peserta KIS, namun ia tak menjadi penerima KKS. Akibatnya, Tarli belum pernah mendapatkan bantuan pangan apapun seperti BPNT.
“Kalau kartu KIS, saya dapat karena pejabat desa tiba-tiba datang ke rumah saya dan memberikan kartu tersebut. Tapi kalau KKS saya enggak tahu gimana cara daftarnya,” kata Tarli.
Ia pun berharap, Pemkab Cirebon dapat memperhatikan warga miskin secara menyeluruh. Terutama pemerataan dalam distribusi bantuan sosial yang tepat sasaran.
[gambar:3]
Kepala Seksi Jaminan Sosial Dinsos Kabupaten Cirebon Eman Sulaeman sadar jika di Kabupaten Cirebon masih ada sebagian warga miskin belum memperoleh KIS maupun KKS. Namun, Eman mengaku, jika Dinsos hanya bertugas mengusulkan pembuatan KIS ke pusat melalui Data Terpadu Kesejahteraan (DTKS) yang masuk.
“Soal data, lagi-lagi berasal dari Puskesos. Kadang ada juga yang sudah punya kartunya, tapi setelah dicek malah tidak aktif. Karena double NIK atau NIK terpakai orang lain,” jelasnya.
Sebagaiamana laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon hingga Desember 2021, progres capaian Universal Health Coverage (UHC) Kabupaten Cirebon saat ini turun di angka 91,66 %. Padahal, pada 2021 hingga triwulan I sempat mencapai UHC atau 95 persen dari total penduduk.
Kepala Seksi Jaminan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Dani Priana mengungkapkan, jika penyebab capaian UHC turun dikarenakan kenaikan jumlah penduduk secara signifikan selama pandemi Covid-19. Ia menyebut, jumlah penduduk pada 2021 bertambah hingga 87.192 jiwa setelah banyak warga yang baru melakukan perekaman e-KTP.
“Jadi dari yang KTP nya jadul itu ternyata belum tercatat sebagai penduduk yang terbaru. Setelah perekaman e-KTP otomatis jumlah penduduk kian bertambah,” jelas Dani.
Selain itu, sebanyak 193 ribu peserta BPJS Kabupaten Cirebon dinonaktifan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) Republik Indonesia (RI) pada Oktober 2021. Penonaktifan tersebut setelah adanya hasil survei Data Terpadu (DT) yang dilakukan oleh Kemensos.
Menurutnya, ada dua penyebab mengapa Kemensos RI menonaktifkan kepesertaan BPJS. Pertama, adanya NIK yang tidak teridentifikasi setelah perpindahan kepesertaan kartu Jamkesmas ke kartu BPJS secara masif.
“Jadi ada validasi NIK yang ternyata banyak ditemukan perbedaan dengan data yang ada di Kemendagri,” ujarnya.
Kedua, kepesertaan ganda, karena double data. “Ada 1 NIK jadi 2 peserta. Ada 2 peserta tapi NIK sama. Tetapi itu bisa diaktifkan lagi, selagi orangnya masih hidup, miskin dan segera melakukan perekaman e-KTP baru,” kata Dani.
Targetkan Raih UHC 97,5 %
Namun Dani menyadari, jika perlindungan kesehatan di masa pandemi covid-19 begitu penting. Karena itu ia menargetkan tahun ini Kabupaten Cirebon bisa raih kembali UHC hingga 97,5 %.
[gambar:5]
Ia mengaku, jika Dinkes saat ini tengah memperjuangkan 345.610 warga yang akan diikutkan sebagai penerima program Penerima Bantuan Iuran Daerah (PBID). Anggaran sebesar Rp 154 miliar yang berasal dari APBD I dan II telah disiapkan pemerintah daerah untuk membayar seluruh iuran BPJS nantinya.
Sementara itu, Kasi Jamsos Dinas Sosial Kabupaten Cirebon Eman Sulaeman juga mengungkapkan Dinsos tengah berupaya mengusulkan 32 ribu warga miskin ke Kemensos RI untuk menjadi peserta PBI yang dibiayai oleh APBN.
Namun sebelum itu, ia berjanji akan melakukan verifikasi dan validasi (Verval) warga kurang mampu terlebih dahulu secara optimal untuk menghindari kesalahan data.
Sementara itu, Kepala Bidang Penanganan Fakir Miskin, Gunarsa, berjanji akan memprioritaskan penyandang disabilitas memperoleh kartu KKS. Oleh karenanya, ia berharap pemerintah desa dapat mengutamakan penyandang disabilitas agar dapat masuk dalam DTKS.
“Setelah mereka sudah terdaftar ke DTKS, barulah Dinsos yang akan merekomendasikan agar mendapatkan KKS. Sejauh ini penerima BPNT di Kabupaten Cirebon jumlahnya ada 1.616.729 Jiwa,” jelas Gunarsa.
Anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Cirebon Nana Kencanawati pun, meminta agar Dinkes Kabupaten Cirebon dapat mengoptimalkan program Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibiayai anggaran Pemerintah Daerah dalam mengupayakan capaian UHC.
[gambar:6]
“Meskipun kita sadar untuk mencapai UHC tak bisa jika hanya mengandalkan APBD yang jumlahnya terbatas,” ujar Nana.
Pada Mei 2021 lalu, Komisi IV DPRD Kabupaten Cirebon bersama Dinsos dan Dinkes sempat bertandang ke Kemensos RI. Komisi IV meminta Kemensos RI memindahkan DTKS warga kurang mampu menjadi penerima PBI JKN-KIS agar dibebankan pada APBN.
Komisi IV DPRD Kabupaten Cirebon telah mengirimkan surat permohonan dari Dinsos ke Kemensos perihal permintaan tersebut melalui Bupati untuk 88.613 DTKS yang telah diperbaharui sejak Oktober 2020 agar segera ditarik menjadi PBI.
Namun Nana mengingatkan, jika peran utama yang terpenting yakni upaya Dinas Sosial Kabupaten Cirebon dalam melakukan verifikasi dan validasi (Verval) data agar proses pendaftaran PBI JKN-KIS bisa tepat sasaran.
“Kemarin Dinsos mengajukan anggaran verval senilai Rp 4 miliar. Kita berharap Dinsos bisa verval secara teliti dan lebih baik. Kita yakin jika data ini bisa beres pada akhirnya semua akan bisa teratasi. Baik soal KIS maupun KKS,” pungkasnya. *Muiz
Selengkapnya →