Bukit Ajimut yang terletak di Desa Waled Asem, Kecamatan Waled, semula tak pernah terawat dan diperhatikan. Padahal jika dilihat, kondisi alam yang ada, sangat berpotensi menjadi wisata yang layak untuk dikunjungi.
Namun tidak hari ini, Bukit Azimut atau sekarang dikenal dengan Bukit Manengteung telah dilakukan pembenahan yang bersiap menjadi wisata yang tak kalah menarik.
Hal itu tak terlepas dari peran Pemerintah Desa (Pemdes) Waled yang sejak 2020 trengginas bergerak mencanangkan pembenahan bukit menjadi agrowisata.
“Sebelum itu, sebenarnya sempat ada sesepuh desa kami yang mendapat isyarat melalui mimpi kalau di sekitar Bukit Ajimut akan dibentuk Kawasan Wisata Manengteung (KWM). Tahun 2000 an mantan camat sini bermimpi kalau kawasan wisata nanti akan diminati masyarakat,” ujar Kuwu Desa Waled Asem Yanto.
Isyarat itu baru terealisasi pasca Yanto terpilih menjadi kuwu Waled Asem. Menurut Yanto, semula tak pernah ada yang berani memulai membenahi Bukit Ajimut. Alasannya, karena di sekitar lokasi, banyak lahan yang bukan milik aset Desa Waled Asem, melainkan milik individu masyarakat sekitar.
Saat Yanto mulai menjabat kepala desa, ia pun langsung menginisiasi pembuatan wisata alam di lokasi Bukit Ajimut. Yang rencananya akan dikelola Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Yanto menemui para pemilik lahan untuk membuat perjanjian hak sewa selama 10 tahun.
“Alhamdullilah mereka sepakat dengan pembagian 70 persen untuk Bumdes dan 30 persennya untuk pemilik lahan,” ungkap Yanto.
Tak kurang dari 10 hektare luas lahan yang semula bekas galian pasir, akan disulap menjadi wisata alam yang menarik. Saat ini, wisata Bukit Manengteung masih tahap pembangunan sekitar 30 persen. Namun beberapa ornamen pelengkap telah tersedia seperti gazebo, spot selfi dan flying fox yang tengah digarap.
Ketua Bumdes Berkah Jaya Desa Waled Asem Anang, mengungkapkan jika anggaran pembuatan wisata hanya mengandalkan dana dari desa.
“Kami masih dalam proses pengerjaan dengan bertahap, karena anggaran yang dipakai cuman dana desa, dan telah menyerap biaya Rp 100 juta,” ungkap Anang.
Awal Januari 2022 lalu, Pemdes Waled Asem pun meresmikan pembukaan wisata Bukit Manengteung. Meski baru dibuka, banyak pengunjung yang telah memadati wisata.
Anang mengatakan, jika Bumdes masih membutuhkan masukan dari para pengunjung agar wisata Bukit Manengteung dapat lebih ditingkatkan. Ia pun berharap suatu saat Bukit Manengteung akan menjadi satu-satunya ikon wisata alam di wilayah timur Kabupaten Cirebon.
“Saya butuh masukan oleh para pengunjung kenapa di buka awal tahun lalu. Agar kita bisa berbenah dan menambah untuk pembangunan. Jika ditotal sudah ada 500 orang yang berkunjung ke sini dari berbagai daerah seperti Kuningan, Losari dan Babakan,” jelas Anang.
Bagi para pengunjung, tak perlu khawatir akan merogoh kocek besar untuk menikmati keindahan alam Bukit Manengteung. Pasalnya harga tiket masuk yang disiapkan Bumdes masih terbilang cukup standar yakni Rp 5 ribu per orang.
Namun meski begitu, Anang mengeluh jika akses menuju bukit masih memiliki kendala karena jalan yang berlubang dan rusak sehingga menjadi salah satu kritikan utama para pengunjung.
“Soal wisata kan sebenarnya yang utama mengenai aksesnya dulu, kami belum bisa bertindak apa-apa karena itu memang bukan jalan desa. Milik perusahaan, tapi beberapa kali saya coba komunikasi tapi tak pernah diindahkan,” kata Anang.
Pemdes Waled Asem pun sangat berharap, agar dinas dapat menyentuh untuk membantu memperbaiki jalan. Yanto sangat membuka lebar kepada pemerintahan daerah, agar segera menilik potensi yang sedang dibangun oleh pihaknya.
“Selama ini memang belum ada respon dari dinas, kami sebenarnya menunggu. Karena mengandalkan anggaran dari desa saja, rasanya cukup lama untuk menyelesaikannya. Tapi untuk target di tahun 2023 Bukit Manengteung setidaknya sudah selesai atau paling tidak 80 persennya,” terangnya.
Apa yang dilakukan Yanto bukan tanpa sebab. Pasalnya Yanto bercita-cita keberadaan wisata Bukit Manengteung akan dapat mendongkrak pendapatan desa. Selama ini Desa Waled Asem, hanya dapat meraup PADes dengan mengandalkan tanah titisara saja. Itu pun masih terbilang sangat minim jika digunakan untuk mengembangkan desa.
“Memang salah satu tujuan dibuatkan wisata untuk dongkrak PADes, menyerap tenaga masyarakat lokal dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Kami tidak mau hanya mengandalkan dari tanah titisara yang hanya Rp 20 juta per tahun,” pungkasnya. *Lan