Menjelang sore, Toni Aldiansah (12) terlihat asik bermain egrang seorang diri di halaman rumahnya. Permainan tradisional berbahan dasar bambu itu ia buat dengan tangannya sendiri. Di kota besar, hampir sulit menemukan anak kecil yang memainkan permainan tradisional.
Laki-laki yang saat ini duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar itu, dikenal karena kemampuannya membuat kerajinan tangan. Di tempat kelahirannya, Desa Dompyong Kulon, Kecamatan Gebang, Toni biasa menghabiskan harinya bermain di halaman rumah.
Di saat teman-teman sebayanya sibuk bermain handpone, Toni lebih memilih bermain dengan mainan buatannya. Tak hanya egrang, terkadang Toni juga bermain kelereng dan gasing bersama beberapa temannya.
Apa yang dilakukan Toni, merupakan permainan rakyat yang sudah jarang dimainkan anak-anak. Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cirebon, ada 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang harus dijaga dan dilestarikan. Hal itu termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Sepuluh OPK tersebut, antara lain: tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa dan ritus.
Meski demikian, dari total objek kebudayaan, hanya sebagian yang masih bertahan dan terawat. Selebihnya sudah sulit ditemukan tergerus. Ketua Dewan Kebudayaan Kabupaten Cirebon (DKKC) Sulama Hadi mengaku prihatin melihat kondisi budaya saat ini.
Dia menilai, pemerintah daerah belum serius mengelola kebudayaan cirebon. Salah satu alasannya mengenai validasi data kebudayaan dan seniman di tingkat desa.
“Saya sudah turun ke lapangan, hampir semua desa tidak memiliki data jumlah seniman di desanya. Saya miris mendengarnya, kami selaku seniman merasa tidak diperdulikan,” keluhnya.
Selain itu, ia juga mengaku sering mendengar keluhan dari anggotanya terkait sanggar kesenian mereka yang sepi job. Ia khawatir kondisi seperti itu akan membuat kesenian yang menjadi salah satu kebudayaan Kabupaten Cirebon bisa tenggelam dan hilang.
Keprihatinan Sulama juga semakin meningkat, saat melihat pemerintah daerah justru mengundang kesenian lain di luar Cirebon saat menggelar kegiatan.
“Saya beberapa kali melihat dari pemerintah daerah sendiri belum memberdayakan kami selaku pelaku seniman di Kabupaten Cirebon. Hal itu terbukti saat mereka membuat acara malah mengundang budaya dari luar Cirebon. Itu kan miris,” ungkap Sulama.
Sulama menilai, hal tersebut merupakan bentuk ketidak seriusan pemerintah daerah dalam pelestarian budaya. Padahal, selain sebagai pemangku kebijakan mereka juga merupakan figur publik yang bisa menjadi contoh bagi masyarakat.
Ia pun menegaskan, melestarikan budaya bukan hanya membutuhkan regulasi tapi juga perlu diikuti realisasi yang berlaku bukan hanya untuk masyarakat bawah, tapi juga seluruh stake holder pemerintahan.
“Lestarinya sebuah budaya bergantung pada sikap pemangku kebijakan bagaimana memberdayakan seniman. Karena dia juga merupakan figur publik yang bisa dicontoh oleh masyarakat,” tegas Sulama.
Disbudpar Kabupaten Cirebon pun tak menampik, bila belum semua objek budaya Cirebon telah terawat dan teruwat. “Kita akui Disbudpar tidak bisa untuk mengcover semuanya. Sebagian bahkan hanya dapat ditemui saat perayaan hari tertentu. Bahkan untuk olahraga tradisional dan permainan rakyat sudah jarang ditemukann,” ungkap Kabid Kebudayaan Disbudpar Kabupaten Cirebon Kartika Sari.
Kartika membeberkan, bila saat ini Disbudpar sedang fokus pada perawatan bahasa, seni, situs dan adat istiadat. Pasalnya Kabupaten Cirebon memiliki banyak situs atau tempat bersejarah yang belum dikelola dan masih berstatus objek diduga cagar budaya (ODCB).
“Data terakhir yang kami dapat sejak Juli lalu ada sekitar 545 tempat yang masih berstatus ODCB. Bahkan jumlah tersebut bisa bertambah sampai ribuan,” bebernya.
Tak heran, banyak desa yang mengajukan ke Disbudpar agar segera dilakukan penelitian, supaya situs yang semula berstatus ODCB, berubah menjadi CB atau cagar budaya. Sejauh ini baru pendopo bupati yang telah masuk sebagai cagar budaya.
Namun, Disbudpar pun tak bisa berbuat banyak karena penelitian memerlukan proses yang panjang dan dilakukan oleh tim ahli cagar budaya. Setidaknya melibatkan 5 tim meliputi ahli antropologi, sejarah, teolog, hukum, dan arsitek.
Kartika juga mengakui deretan kesenian Cirebon seperti, wayang, tari topeng, sintren, angklung, burok kesulitan mencari generasi. Meski jumlah sanggar berkisar ratusan, namun tak semuanya aktif. “Hanya beberapa saja yang aktif. Selebihnya mati,” jelas Kartika. Sementara menurut data Dewan Kesenian Kabupaten Cirebon dari jumlah 560 sanggar hanya 60 yang masih aktif melakukan kegiatan.
Kartika menyebutkan, kesenian yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak benda (WBTb) Indonesia ialah tari topeng, sintren, lukis kaca cirebon, gembyung, tarling, getak winangun, angklung bungko, dan gong renteng.
Tak dipungkiri, jumlah situs yang masih berstatus ODCB dan kesenian yang belum ditetapkan sebagai WBTb sekaligus 500 sanggar yang tidak aktif menjadi pekerjaan rumah bagi Disbudpar Kabupaten Cirebon.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, pemerintah daerah wajib melakukan pemeliharaan yang bertujuan agar objek perawatan kebudayaan (OPK) tidak rusak, hilang, atau musnah. Di antaranya dengan cara menjaga nilai keluhuruan, menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan. *par