Ini bukan sembarang mantan. Istimewa, saya menganggapnya begitu. Meski mantan, dia tetap penting sepanjang zaman. Bahkan, tanpanya eksistensi pemerintahan, atau negara bisa terancam.
Dari sisi tertentu, arsip bisa disebut mantan. Bahkan, barang bekas. Seperti umumnya mantan, ia sering dilupakan, kurang menarik, dan --dalam perspektif para pencari proyek—kurang menguntungkan, bukan lahan basah.
Wajar, bila aparatur yang ditempatkan di situ dianggap sebagai orang terbuang. Anehnya lagi, hal itu juga menancap di alam bawah sadar top manajemen. Para pejabat ‘menghukum’ aparatur ‘bandel’ dengan ditempatkan di institusi kearsipan. Jadilah, semakin kuat persepsi keliru itu: sebagai lembaga buangan.
Richardo J. Alfaro, pegiat arsip, mantan Presiden Panama, dengan lantang membantah hal itu. Ia berkata: “Pemerintah tanpa arsip ibarat tentara tanpa senjata, dokter tanpa obat, petani tanpa benih, dan tukang tanpa alat.”
Sebegitu vitalnya peran pengelolaan arsip kok disebut ‘buangan’. Harusnya sebaliknya, memiliki kebanggaan berlipat. Pasalnya, diberi amanah menghidupkan jantung eksistensi negara, terutama aspek legal atau hukum.
Selain persoalan legalitas, arsip berfungsi sebagai pelestari sejarah. Ia mencatat peristiwa, sehingga perjalanan hukum, budaya, politik, dan sosial dapat dihargai dan dipelajari.
Keberadaan arsip memastikan bahwa kita dapat belajar dari masa lalu; menjaga fungsi pemerintahan; mendukung pengambilan keputusan; melestarikan warisan budaya; dan menyelidiki berbagai aspek kehidupan rekam jejak manusia.
Sepanjang waktu diskursus kearsipan selalu berputar tentang media penyimpanan. Dulu mulai dari media gambar, kemudian video, dan kini ramai penyimpanan digital. Jika kini kita masih bertanya kapan arsip kita disimpan secara digital? Maka bisa dipastikan pertanyaan itu sudah ketinggalan zaman.
Pertama, era artificial intelligence (AI) harusnya digitalisasi sudah selesai. Karena pengelolaan arsip secara AI mensyaratkan arsip sudah dikelola secara digital. Jika, hari ini Kabupaten Cirebon masih debat kapan digitalisasi, maka halooo…engkau hidup di zaman apa sih?
Kedua, idealnya diskusi hari ini bukan lagi soal arsip disimpan dengan media apa? Tapi bagaimana penyimpanan itu dikemas menjadi seperti ‘mesin waktu’. Baik digitalisasi maupun AI arsip harus disajikan dengan kemampuan membawa seseorang ke dalam mesin waktu.
Mesin itu mampu menghanyutkan seseorang ke waktu ketika arsip itu diproduksi hingga perjalanannya sampai ke masa kini. Artinya arsip bukan hanya disimpan begitu saja. Tapi penyimpanan itu mampu menyertakan ruh dan semangat zaman sang arsip.
Dengan kesadaran ini kami mengajak semua aparatur negara jangan sungkan (apalagi mengabaikan) pengarsipan. Tak ada lagi cerita arsip penting berhias kotoran cecak dan tikus tergolek pasrah di toilet bekas di pojok belakang kantor.
Berjuanglah melestarikannya, sebagaimana para pejuang melahirkan negara ini. Bersemangatlah seperti halnya ketika engkau bersemangat melahirkan dokumen yang kini disebut arsip itu.
Ke depan, tak perlu lagi memberikan anggaran besar (cukup) untuk mengelola arsip. Pengelolaan arsip bukan beban (cost), tapi investment. Investasi yang menjamin keberlangsungan hidup kita, dan melahirkan generasi pembelajar yang andal. Generasi yang pada gilirannya meneruskan kejayaan negeri ini.
Jadi, jangan biarkan peristiwa penting hilang dari catatan sejarah. Jangan pula membiarkan ruh, semangat, perjuangan, air mata, dan cinta terlepas dari catatan sejarah itu. Cukup mantan (pacar) saja yang menjadi sejarah yang tak tercatat.