Sudah 1 jam lamanya, Oni Jahoni berdiri di pinggir jalan. Menunggu angkutan umum datang. Oni berencana pergi ke satu tempat. Terkadang ia harus menunggu berjam-jam. Tak jarang, penyandang tuna daksa itu harus berjalan kaki karena nihilnya angkutan umum yang berhenti.
“Mungkin para angkutan tidak mau repot dan makan tempat. Apalagi saya yang bawa 2 tongkat,” anggapnya.
Oni terpaksa menjadi tuna daksa setelah kehilangan kedua kakinya 22 tahun silam. Oni merupakan korban tabrak lari saat berusia 23 tahun.
“Lebih tepatnya terjadi di tahun 2001, sampai sekarang saya tidak tahu siapa yang nabrak saya. Setelah amputasi, hampir 4 tahun saya menutup diri karena malu,” tuturnya.
Laki-laki asal Desa Durajaya, Kecamatan Greged, ini menilai, fasilitas umum dan pelayanan publik di Kabupaten Cirebon belum ramah terhadap disabilitas. Hal itu bisa dilihat dari sulitnya akses pelayanan publik yang belum memiliki keadilan bagi penyandang disabilitas. Keadaan itu diperparah karena tidak hanya terjadi dalam fasum, melainkan juga area kantor pemerintahan.
Oni mengaku, beberapa kali diundang dalam kegiatan bertemakan penyandang disabilitas. Namun justru ia mengalami kesulitan.
“Saya pernah menghadiri acara di kantor bupati. Saya merasa kerepotan, karena di sana belum ada lift atau akses disabilitas. Sementara, acaranya di lantai 2. Saya terpogoh-pogoh,” ungkap Oni.
Selain minimnya pelayanan publik ramah disabilitas, Oni juga kesulitan mendapat pekerjaan. Untuk membiayai hidupnya, Oni bergantung dengan berjualan sayur di Pasar Durajaya. Setiap pukul 3 pagi, Oni dan istri akan berangkat menuju pasar menggunakan motor dan viar roda tiga yang telah dimodifikasi untuk mengangkut sayuran. Tak ada pilihan lain bagi Oni selain harus berwirausaha.
Selain Oni, penyandang tuna rungu Reza Mantovani, juga merasakan hal sama. Laki-laki 23 tahun tersebut, kesulitan mendapat pekerjaan. Meski sudah mengantongi ijazah SMA SLB Bina Mandiri Ciledug, tak membuatnya mudah mendapat pekerjaan layak. Saat ini, Reza bekerja sebagai pembantu sekolah. Sesekali ia juga menjadi tukang bangunan.
“Sulit cari kerja, jadi diajak sama kepala sekolah untuk bantu-bantu di sekolah sampai nanti dapat kerjaan tetap,” katanya, dengan menggunakan bahasa isyarat.
Laki-laki yang hobi melukis itu, sempat berkeinginan bekerja di perusahaan besar. Namun Reza tak dapat berbuat banyak. Keterbatasannya membuat ia memendam keinginan itu.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Cirebon Novi Hendrianto mengungkapkan telah membentuk Unit Layanan Disabilitas yang bertugas memenuhi hak disabilitas sebagaimana amanat undang-undang.
“Sebagaimana amanat PP Nomor 60 Tahun 2020, unit itu bertugas membekali para disabilitas agar memiliki semangat yang tinggi saat memasuki dunia kerja,” ungkap Novi.
Meski demikian, Novi mengakui, baru 81 penyandang disabilitas yang telah mendapat pekerjaan layak. Mereka tersebar di 18 perusahaan, bahkan 27 di antaranya, telah bekerja di perusahaan waralaba.
Novi menyebut, alasan belum semua disabilitas terserap lapangan pekerjaan, karena banyak yang memilih mengundurkan diri. Padahal banyak perusahaan yang sudah memfasilitasi penyandang disabilitas untuk bekerja.
“Tapi tidak sedikit yang memutuskan mengundurkan diri dengan alasan tidak percaya diri,” jelas Novi.
Ketua Forum Komunikasi Difabel Cirebon (FKDC) Abdul Mujib menilai, belum ada ketegasan hukum dalam pembinaan penyandang disabilitas. Tak heran banyak pekerjaan rumah yang tak selesai. Selain itu, Mujib juga menilai Pemkab Cirebon tak memiliki data riil jumlah penyandang disabilitas. Padahal data menjadi kunci agar kesejahteraan penyandang disabilitas dapat terwujud.
“Saya pernah membuat acara di desa, lalu pihak desa mengatakan cuma ada 2 orang disabilitas. Padahal saat saya lakukan pendataan ulang satu desa mencapai 30 bahkan ada yang 60 orang,” jelasnya.
Mujib berharap, Pemkab Cirebon benar-benar menghadirkan kesetaraan pelayanan bagi penyandang disabilitas.
Ketua DPRD Kabupaten Cirebon Mohamad Lutfhi mengingatkan, pentingnya pemberdayaan penyandang disabilitas. Dalam UU Nomor 8 tahun 2016 sudah dijelaskan, penyandang disabilitas memiliki hak pendampingan dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat pelayanan publik tanpa tambahan biaya.
Luthfi menegaskan, penyandang disabilitas memiliki hak sama untuk berkontribusi dalam membangun Cirebon. Maka, perlu fasum dan kesempatan bekerja yang setara.
“Mereka semua tentu bagian dari Kabupaten Cirebon. Memiliki hak yang sama untuk mendapat akses. Maka jangan sampai dipandang sebelah mata,” tegas Luthfi. *par