Fokus 1 edisi Juni 2023

Nasib Penyandang Disabilitas - Tak Dapat Hak Pelayanan Publik

Ilustrasi Nasib Penyandang Disabilitas - Tak Dapat Hak Pelayanan Publik

Oni masih mengantre di belakang deretan barisan orang saat akan membuat e-KTP di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Bedanya ia tak berada persis di tempat antrean. Ia menunggu di sebelah kanan barisan. Menunggu namanya dipanggil.

Bagi Oni yang merupakan tunadaksa, tak bisa berbuat banyak. Keadaan itu tentu membuat ia kesulitan dalam setiap membutuhkan pelayanan publik.

“Ini baru satu tempat mas. Belum lagi kalau soal mau buang hajat. Kami sih malu karena kita yakin hampir semua dinas di Cirebon belum menyediakan kamar mandi khusus disabilitas,” keluh Oni.

Bukan hanya itu, Oni juga mengaku sering menghadiri beberpa acara yang diadakan dinas. Sebagai orang yang memiliki keterbatasan, ia kesulitan karena tidak ada fasilitas khusus disabilitas di kantor tersebut.

“Saya pernah menghadiri acara di kantor bupati, di sana kan belum ada lift atau akses disabilitas. Jadi kami kesulitan untuk bergerak, sedangkan acara ada di lantai 2,” ungkap Oni.

Setiap aktivitas apapun Oni mengandalkan 2 tongkatnya, semenjak kedua kakinya harus diamputasi. “Sudah 22 tahun tongkat ini menemani saya,” ujarnya.

Apa yang dialami Oni, tentu menjadi preseden buruk dan bukti belum berjalannya hak keadilan bagi para penyandang disabilitas. Padahal Undang-Undang No 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatur hak-hak mereka.

Salah satunya dalam Pasal 19 yang menegaskan, penyandang disabilitas mendapat hak pelayanan publik meliputi: memperoleh akomodasi yang layak dalam pelayanan publik secara optimal, wajar, bermartabat dan tanpa diskriminasi; pendampingan dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya.

Dinas Sosial Kabupaten Cirebon melaporkan, jumlah penyandang disabilitas di Kabupaten Cirebon mencapai 3.365 jiwa pada tahun 2022. Jumlah tersebut diperoleh dari 40 kecamatan di Kabupaten Cirebon dengan ragam kategori.

“Itu data yang sudah kami terima meliputi disabilitas fisik, disabilitas sensorik, disabilitas mental, dan disabilitas intelektual,” ujar Kabid Rehabilitasi Sosial Dinsos Kabupaten Cirebon Lili Marliyah, AKS.

Seperti diketahui, UU No 8 Tahun 2016 menerangkan ragam disabilitas fisik yaitu seseorang yang mengalami keterbatasan mobilitas atau stamina fisik yang mengganggu sistem otot, pernafasan, atau saraf. Sementara disabilitas sensorik, merupakan individu yang mengalami keterbatasan pada fungsi alat indera, seperti penglihatan dan pendengaran.

Lalu disabilitas mental adalah individu yang mengalami gangguan pada fungsi pikir, emosi, dan perilaku sehingga adanya keterbatasan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Terakhir disabilitas intelektual adalah individu yang mengalami gangguan pada fungsi kognitif karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata.

Lili menjelaskan, disabilitas tidak hanya berlaku karena bawaan lahir, melainkan juga disebabkan kecelakaan yang mengakibatkan amputasi atau trauma pada mental. Atau karena penyakit seperti kusta dan diabetes melitus.

Tak heran, dengan alasan tersebut, diperkirakan jumlah penyandang disabilitas akan selalu bertambah dalam setiap tahun.

“Setiap hari berapa banyak orang mengalami kecelakaan. Setiap hari berapa banyak orang terkena penyakit. Maka, bisa disimpulkan penyandang disabilitas kemungkinan akan selalu bertambah,” jelasnya.

Namun, hal tersebut tidak dibarengi dengan penyediaan fasilitas umum untuk menunjang aktifitas penyandang disabilitas. Fasilitas umum dan layanan publik di Kabupaten Cirebon dinilai belum ramah disabilitas.

Lili mengakui, hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah. Dia menuturkan, sejumlah komunitas disabilitas mengeluh terkait penyediaan akses disabilitas yang kurang memadai.

“Memang itu menjadi masukan dari komunitas-komunitas disabilitas ke pemda, agar lebih banyak diberikan fasilitas yang berpihak kepada mereka,” tuturnya.

Beberapa komunitas merasa kesulitan ketika ingin melakukan aktifitas seperti bekerja, atau sekadar berkunjung ke saudara. Padahal, dengan jumlah disabilitas tersebut maka semestinya diimbangi dengan pengadaan akses yang memadai. Tak hanya di ruang pelayanan publik milik daerah, fasum seperti masjid dan musala  pun dianggap belum ramah disabilitas.

“Kami sering dengar keluhan dari penyandang disabilitas yang kesulitan saat ambil wudu atau ke kamar mandi di masjid atau musala,” ungkap Lili.

Belum lagi pada sektor transportasi umum dan kesehatan, yang minim akses khusus penyandang disabilitas. Bahkan di tingkat kantor pemerintahan masih banyak dinas yang tak miliki ruang MCK disabilitas.

“Dinsos dulu memang pernah ada, berupa kamar mandi dan akses di pintu masuk untuk disabilitas. Tapi karena sempat mengalami pembangunan baru jadi tidak terawat lagi,” bebernya.

Sejauh ini, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang telah memiliki ruangan dan pelayanan khusus disabilitas baru Pengadilan Negeri Sumber dan Disdukcapil. Sementara desa yang dinilai sudah terbuka dengan menyediakan akses disabilitas, di antaranya, Desa Kendal, Durajaya, Panambangan, dan Desa Gempol. Selebihnya nihil.

Menurut Lili, keberadaan fasilitas umum dan pelayanan publik khusus disabilitas sangat dibutuhkan. Hal tersebut pun diakui menjadi tugas seluruh elemen bukan hanya kewenangan satu bidang atau Dinsos saja.

“Ini memang menjadi PR, bagaimana kedepan fasilitas umum dan pelayanan publik ramah disabilitas. Jadi harus ada sinergitas SKPD," katanya. Par

Pencarian
Edisi Terbaru 2024
Agustus 2024
Cover edisi Agustus 2024
Juli 2024
Cover edisi Juli 2024
Juni 2024
Cover edisi Juni 2024