Kopi Pagi edisi April 2023

Kookboek

Katakan padaku apa yang kamu makan, aku akan memberitahumu siapa dirimu. Begitulah Jean Anthelme Brillat-Savarin (1755-1826) menggambarkan betapa makanan dapat menceritakan banyak hal, termasuk tentang identitas dan karakteristik seseorang. 

Karena makanan pulalah kehidupan manusia di dunia ini dimulai dan dapat dijelaskan. Akibat salah makan, yang dilakukan Adam, bumi pun dihuni manusia. Inilah titik awal peradaban makanan bergulir. 

Makan awalnya untuk bertahan hidup. Namun, ketika api ditemukan dan manusia mulai mengenal rasa dan estetika, mereka mulai berlomba berkreasi mencipta makanan. Sebagian orang bahkan kemudian menganggap hidup untuk makan.

Namun, ketika makanan berbaur dengan tata nilai, baik nilai sosial, agama, dan kesehatan, makanan kemudian menjadi simbol kualitas generasi dan peradaban. Makanan tidak lagi dinilai dari rasa dan estetika penampilan saja, tapi juga harus baik, sehat, dan halal.  

Dalam tata kehidupan sosial, makanan juga menjadi tolok ukur kelas sosial dan ekonomi. Bagi orang Timur, makanan bahkan menjadi representasi filsafat hidup komunitas pembuat dan pemakannya. Di sinilah perkataan Brillat-Savarin di atas menjadi relevan. Makanan dapat menjelaskan siapa yang memakannya. 

Dalam konteks negara, makananpun menjadi identitas kebangsaan dan budaya. Inilah yang disadari oleh pendiri bangsa ini. Soekarno memandang penting makanan khas Indonesia untuk dilestarikan dan keberadaanya harus diakui sebagai warisan budaya non benda. 

Pada 1960, Soekarno memerintahkan Menteri Pertanian Brigjen. dr. Azis Saleh untuk membuat buku tentang resep makanan yang ada di seluruh Indoensia. Saleh pun kemudian memerintah jajarannya untuk menyusun buku itu. 

“Sesuai dengan pembicaraan saya dengan Presiden, maka supayalah Lembaga Teknologi Makanan nanti diberi tugas untuk menyusun suatu kookboek yang lengkap untuk seluruh Indonesia,” tulis Saleh dalam Memo kepada Sekjen Kementerian Pertanian tertanggal 12 Desember 1960. 

Sejak saat itu kookboek (buku resep) itu disusun, dan terbit pertama kali pada 1967. Buku setebal 1.207 halaman itu diberi judul Mustikarasa. Buku yang memuat lebih dari 1.600 resep kuliner Indonesia itu kemudian diterbitkan ulang pada 2016. 

Lewat buku itu, Soekarno sepertinya ingin menyampaikan pesan bahwa seorang negarawan haruslah mengenal negaranya, salah satunya lewat makanan. Seolah ia berkata: “Kenalilah makanan bangsamu, maka engkau akan mengenal siapa rakyatmu, dan engkau akan mampu membangun kesejahteraan bagi rakyatmu.” 

Bagaimana dalam konteks lokal? Cirebon sebagai bagian dari Indonesia tentu saja juga kaya akan kuliner. Terlebih Cirebon adalah kota tua dan persinggahan perdagangan (pertemuan berbagai peradaban). Kuliner Cirebon menjadi simbol perpaduan dan akulturasi berbagai budaya. 

Sudahkan orang Cirebon, terutama para pemimpinnya, mengenal kuliner Cirebon? Ataukah hanya menjadi penikmat kuliner saja? Atau bahkan menganggap kuliner Cirebon ketinggalan zaman, lebih menyukai makanan asing dan makanan instan? 

Jika jawabannya merupakan respon atas pertanyaan pertama, maka sangat bagus. Jika merupakan respon atas pertanyaan kedua, maka cukup bagus. Namun jika merupakan respon atas pertanyaan ketiga, maka sungguh memprihatinkan.  

Sebagai negarawan lokal, ada baiknya meniru Bung Karno, pemerintah Cirebon perlu menyusun Ceribon Kookboek. Kegiatan tahunan pelestarian kuliner Cirebonpun perlu dilakukan, seperti lomba memasak makanan khas Cirebon. 

Wisata kuliner Cirebon juga harus didorong menjadi pendongkrak ekonomi dan kesejahteraan. Sehingga kualitas kehidupan meningkat, dan tidak ada lagi penderita gizi buruk di daerah kaya kuliner ini.

 

Pencarian
Edisi Terbaru 2024
Agustus 2024
Cover edisi Agustus 2024
Juli 2024
Cover edisi Juli 2024
Juni 2024
Cover edisi Juni 2024