Baru saja selesai Isya, Wasri sudah bersiap memanaskan minyak di atas wajan. Ia akan menggoreng tahu-tahu kotak yang telah ia beli. Tak lupa, Wasri merebus air menggunakan panci. Menunggunya mendidih, lalu memasukan gula merah dan asam jawa.
Setelah matang, air gula merah itu ia tuang ke jeriken plastik khusus. Sementara tahu yang telah digoreng, ia susun rapih di atas tampah. Hampir setiap malam, rutinitas itu ia lakukan. Kurang lebih 2 jam waktu yang dibutuhkan sebelum Wasri berisitirahat.
“Kira-kira jam 10 malam saya baru bisa beristirahat. Soalnya saya lakukan sendiri,” ujarnya.
Wasri merupakan penjual tahu gejrot asal Babakanlosari, Kecamatan Pabedilan. Pukul 9 pagi, Wasri mulai memikul jualannya. Berangkat menggunakan angkutan umum menuju desa tempat pelanggannya.
Perempuan 65 tahun itu, setiap hari berkeliling di Desa Gebang. Memikul tampah di atas kepalanya. Hampir 20 tahun Wasri telah berjualan kuliner khas Cirebon.
“Saya lupa, tapi tahun 2003 itu saya sudah berjualan. Sampai sekarang kadang kalau satu atau dua hari tidak dagang saja, pasti pelanggan nanyain,” ungkap Wasri.
Alhasil, Wasri harus selalu fit agar tak kehilangan pelanggan. Jika sewaktu-waktu ia sakit, tak ada yang bisa menggantikannya. Meski Wasri memiliki 4 anak, tak seorang pun yang bersedia melanjutkan usaha tersebut.
“Kalau kaki saya sudah tidak kuat, kemungkinan saya akan berhenti jualan tahu gejrot. Saya enggak mau memaksa anak saya. Anak-anak saya memilih bekerja di perusahaan dan pabrik. Ada juga yang jadi TKI,” jelas Wasri.
Tak jauh beda dialami Niyah, penjual ketan geblog khas Cirebon. Sudah 30 tahun, keluarga Niyah menjual camilan berbalut daun pisang tersebut.
“Ini usaha milik ibu saya. Sejak tahun 1990 beliau sudah berjualan Geblog. Tapi enggak tahu nanti siapa yang akan meneruskan usaha ini setelah saya,” kata Niyah.
Anak sulungnya memilih untuk bekerja di usaha lain, sementara anak bungsunya masih duduk di bangku sekolah dasar.
Sebagai anak sulung, Niyah berupaya untuk menjaga usaha keluarga tersebut. Selain minimnya generasi, kesulitan modal juga sering menjadi penyebab.
“Kadang kalau gak ada modal, saya pinjam, soalnya buat muter laginya susah,” keluhnya.
Wasri dan Niyah merupakan sebagian yang mengkhawatirkan masa depan kuliner khas Cirebon. Jika terus dibiarkan, bukan tak mungkin kuliner khas Cirebon akan tenggelam. Belum lagi dengan tantangan kuliner modern yang menjadi idola generasi muda.
Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Disbudpar Kabupaten Cirebon Boyan mengakui, sejauh ini baru ada program sosialisasi dan fasilitasi ke beberapa pelaku usaha kuliner khas Cirebon. “Belum semua memang,” ujarnya.
Dia menuturkan, perlunya payung hukum serta legalitas yang akan melindungi kuliner tersebut dalam menghadapi perkembangan zaman.
“Kalau ditanya perlu tidak, ya pasti perlu. Tapi memang harus melewati proses yang panjang,” tuturnya.
Anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Cirebon Hj Hanifah mengatakan, sejauh ini Dinas Budaya Pariwisata belum menginventarisasi seluruh warisan kuliner khas Cirebon. “Baru sebagian yang sudah. Selebihnya kaya geblog, ketan gurih dan camilan belum begitu dipromosikan,” ujarnya.
Oleh karenanya, DPRD Kabupaten Cirebon menunggu langkah nyata Disbudpar untuk mengajukan raperda kuliner Cirebon misalnya, agar kekayaan daerah tersebut bisa terjaga dan terawat. “Kalau serius ayo ajukan. Kami sangat terbuka pengajuan raperda kuliner dari dinas,” kata Hanifah.
Selain mengajukan raperda, politisi PKB itu menilai, perlunya merawat dan menjaga kuliner dengan berbagai macam cara. Misalnya dengan menggelar festival makanan setahun sekali dalam perayaan HUT Cirebon. “Kan bisa minta satu perusahaan saja sebagai sponsor. Saya yakin mudah dan sangat bisa,” paparnya.
Ia pun tak menampik menurunnya jumlah penjual kuliner khas Cirebon karena minimnya generasi. Oleh karenanya, pentingnya mengenalkan setiap kunjungan kerja ke luar kota. Misalnya, pastikan dinas membawa buah tangan khas Cirebon.
“Sekarang nyari penjual geblog memang masih ada. Tapi sudah jarang. Lima tahun kedepan jangan-jangan sudah langka kalau enggak ada langkah serius,” tandas Hanifah. *par