Kopi Pagi edisi Maret 2023

Dawa Buntute

Menyaksikan burung berekor panjang bergerak lincah di alam bebas itu pemandangan langka. Apalagi gacor, wah keren abiss…. Bukan hanya burung yang lebih disukai jika berekor panjang, sebut saja ada kucing, monyet (monyet colobus), kadal rumput, dan ikan pari (pari macan tutul).

Bagaimana jika yang berekor panjang itu bisnis, terlebih jika usaha itu milik desa, alias Bumdes? Tentu saja menarik. Chris Anderson, seorang penulis Inggris-Amerika, mengupas ekor panjang dunia bisnis itu dalam satu buku: The Long Tail: Why the Future of Business Is Selling Less of More.

Dalam buku ini Anderson menjelaskan bahwa bisnis yang bertahan di masa depan adalah bisnis berekor panjang. Seperti apakah bisnis berekor panjang itu? Anderson menjelaskan panjang lebar, detail, hingga ke teknis teoritis, bagi orang awam –termasuk saya—tentu saja itu agak rumit. 

Secara sederhana, bisnis ekor panjang adalah bisnis yang penjualannya bertahan lama, meski secara volume lebih sedikit. Artinya, usaha itu bisa menjual barang dengan terus-menerus, sepanjang waktu, meski jumlah barang yang terjual tidak dalam jumlah besar. Penjualannya membentuk ekor yang panjang, buntute dawa. 

Ekor panjang ini bukan hanya dari sisi waktu (berjalan sepanjang masa), tapi juga jangkauan penjualannya panjang. Barang terdistribusi ke pembeli bukan hanya dalam lingkup desa, kabupaten, propinsi, atau nasional, tapi juga menembus batas negara, yakni ekspor. 

Perda Bumdes yang baru saja disahkan DPRD kabupaten Cirebon adalah dengan semangat bisnis ekor panjang tersebut. Jika, dulu bisnis terpusat di kota-kota industri dan hanya dimiliki oleh pemodal-pemodal besar, maka kini bisnis harus dikembalikan kepada pemilik sumber daya alam terdekat, yakni desa. 

Meski diproduksi di desa, namun dia harus mampu berekor panjang. Pertama, dari sisi kedekatan dengan bahan produksi membuat bisnis berbasis desa berpotensi lebih lestari (berekor panjang). Kedekatan dengan akan membuat semangat bisnis juga melestarikan alam, bukan mengeksploitasi alam. 

Kedua, tekonologi informasi yang kini berkembang pesat membuat tidak adalagi sekat desa kota, atau desa kawasan industri. Semua bisa menjadi tempat produksi, termasuk dalam lingkungan rumah tangga. Tidak ada lagi istilah bahwa tempat produksi harus berdekatan dengan pusat pemasaran. 

Artinya secara pemasaran, bisnis di desa pun mampu menembus batas-batas ruang dan waktu. Meski produksi di desa, pemasarannya berekor panjang, bisa tersebar ke seluruh dunia. 

Betul bahwa industri lain pun bisa melakukan pemasaran yang sama, namun desa punya kekuatan kedekatan dengan sumber alam. Terlebih ini akan membuat pemerataan kesejahteraan, yang bukan lagi milik segelintir pemodal besar, tapi juga milik warga desa. Jadi ekor kesejahteraan harus sampai ke desa, bukan lagi milik kota-kota besar.   

Apakah Bumdes bisa melakukannya? Tentu saja. Sudah ada buktinya. Lihatlah Bumdes Megamendung Jaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, berhasil mengekspor kopi ke Qatar dan Mesir. Bumdes Desa Luba Kecamatan Lembur, Kabupaten Alor, NTT, mamapu mengekspor vanila ke Jerman dan Amerika. Empat Bumdes di Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim, bekerja sama mengekspor lidi nipah dan sawit ke Kanada.  

Bagaimana dengan Cirebon? Potensinya besar, dari segi kekayaan alam kita punya laut, pantai, sungai, danau, pertanian, dan pegunungan. Dari sisi akses, kita punya lima pintu tol 10 stasiun kereta api, juga dekat dengan pelabuhan dan bandara. Semoga dengan disahkannya Perda tentang Bumdes dan Bumdesma, Kabupaten Cirebon punya Bumdes berekor panjang.  

Jadi, sing dawa buntute aja manuk bae, Bumdes juga. Tentu saja, tujuannya agar warga desa juga bisa gacor, alias sejahtera dan bahagia.

Pencarian
Edisi Terbaru 2024
Agustus 2024
Cover edisi Agustus 2024
Juli 2024
Cover edisi Juli 2024
Juni 2024
Cover edisi Juni 2024