Sering kami mendapat kunjungan dari DPRD kabupaten/kota lain. Di sela obrolan serius, biasanya selalu kami sisipkan perbincangan ringan seputar kuliner cirebon. Promosi lah begitu. Suatu ketika ada tamu yang cukup kritis, dia bertanya:
“Pak kenapa masakan yang seperti gulai di Cirebon itu namanya empal gentong? Bukankah empal itu daging sapi yang diiris tipis lalu digoreng?”
Wajar sih orang bertanya seperti itu. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga mendefinisikan empal seperti itu. Tapi sebagai tuan rumah kita harus siap dengan pertanyaan kritis, terlebih pertanyaan terhadap kekhasan daerah.
Kami jelaskan bahwa empal itu adalah daging yang empuk. Nah, nama di belakangnya merujuk pada proses atau metode pengempukan daging. Di daerah lain ada empal gepuk. Wujudnya daging sapi goreng. Metode pengempukannya dengan di-gepuk (ditumbuk atau dipukul dengan benda tumpul). Jadilah namanya empal gepuk.
Sedangkan di Cirebon, daging diempukkan dengan cara direbus di dalam gentong selama beberapa jam. Untuk itulah namanya empal gentong. Di Cirebon yang diempukkan bukan hanya daging, tapi juga kikil, jeroan dan kepala.
Menariknya, empal gentong sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Pemerintah Jawa Barat, pada 2 Februari 2022. Sementara, di pemerintah pusat, sejak Januari 2016, statusnya baru tercatat sebagai WBTB, belum ditetapkan sebagai WBTB.
Nah, silakan kalau sebelumnya menikmati empal gentong hanya sebagai kulineran; sekarang nikmatilah empal gentong sebagai sajian warisan budaya. Adakah perbedaan rasa?
Kalau belum ada bedanya, mari saya tambahkan narasi penambah kelezatannya. Empal gentong konon berdasarkan cerita rakyat sudah ada sejak tahun 1400-an, atau abad ke-15.
Sebagai pusat perdagangan kala itu, pelabuhan Cirebon adalah tempat bertemunya para saudagar dari Arab, Cina, India, Jawa, dan lokal Cirebon. Empal gentong adalah representasi gabungan masakan atau bumbu dari kelima budaya itu.
Karena lahir dari peradaban yang cukup tua, empal gentong pun sarat filosofi. Daging yang empuk diibaratkan sebagai manusia. Bahwa manusia adalah seonggok daging yang lemah tanpa daya. Untuk itu manusia tak perlu sombong.
Seonggok daging itu memiliki rasa ketika disajikan dengan kuah bumbu. Begitupun manusia, dia akan bermartabat ketika dalam kehidupannya mengusung nilai sosial, budaya, dan agama. Jadi, bumbu ini pengibaratan nilai yang harus menyelimuti bahkan terserap di dalam diri manusia.
Semakin bumbu itu meresap ke dalam daging, rasa empal gentong semakin enak. Manusia pun begitu, semakin nilai menginternalisasi dan diamalkan dia semakin bermartabat.
Sedangkan gentong adalah pengibaratan dari aturan kerajaan, negara, atau pemerintah. Kumpulan manusia harus taat dan patuh terhadap hukum yang berlaku di sebuah pemerintahan. Jika tidak, maka akan terjadi kekacauan.
Daging tidak akan empuk, jika di luar gentong. Jika ada sebagian di dalam gentong dan sebagian di luar gentong maka akan terjadi kekacauan rasa, yang satu empuk yang lainnya alot. Lebih parah lagi, jika gentong itu pecah, maka tidak akan daging itu menjadi masakan bernama empal gentong.
Pelajarannya, manusia harus taat dengan aturan pemerintah. Jika tidak, maka akan terjadi kekacauan keamanan dan ketertiban. Konsekuensi terburuknya, negara itu bisa bubar.
Sahabat, mari kita nikmati empal gentong sebagai warisan budaya dan melestarikannya. Oh ya jangan lupa, ketika menikmatinya sadarlah tentang diri yang lemah dan pentingnya mengusung nilai dan menjadi pribadi yang taat.
Mari kita jadi Kabupaten Cirebon, dan Indonesia, menjadi negeri yang bermartabat, seperti halnya negeri empal gentong.