Puluhan tahun, Amo Wijaya, mendalang kesenian wayang cepak khas Cirebon. Ki Amo, sapaannya, merupakan salah satung dalang yang hingga kini masih aktif mengenalkan wayang cepak.
Di usianya yang tak lagi muda, pria kelahiran 1949 Desa Karangtengah, Karangsembung tersebut, masih menggeluti profesinya meski sudah jarang orang yang mengenal wayang cepak.
Sejak tahun 1968, Ki Amo telah menjadi dalang wayang golek cepak. Saat itu, Amo muda sudah dikenalkan cara mendalang oleh ayahnya yang juga seorang dalang.
Darah seni itu pun mengalir deras dalam diri Amo. Selain ayah, kakek hingga buyut Amo ternyata juga seorang dalang. Tak heran, kecintaannya terhadap wayang cepak begitu besar hingga saat ini.
“Sekarang umur saya 74 tahun. Kalau ada kesempatan untuk tampil saya masih siap,” ucap Ki Amo.
Ki Amo sangat menyukai kesenian wayang cepak. Selain untuk mengetahui sejarah zaman dahulu, bagi Ki Amo, melalui wayang cepak turut serta melestarikan warisan leluhur.
Di antara saudara-saudaranya, hanya Ki Amo yang bersedia meneruskan profesi sebagai dalang wayang cepak.
“Saya anak ke 1 dari 5 bersaudara, dan hanya saya yang menjadi dalang. Sekarang saya punya 6 anak, 5 perempuan dan 1 laki-laki. Tapi tidak ada yang meneruskan menjadi dalang,” ungkapnya.
Meski demikian, Ki Amo mengaku telah membebaskan anak-anaknya untuk memilih masa depan mereka sendiri.
Selama menjadi dalang, Ki Amo sudah tampil di berbagai tempat. Bukan hanya di Cirebon saja, melainkan hingga luar kota seperti Bandung dan Jakarta.
Saat kesenian wayang masih ramai peminatnya, Ki Amo bahkan pernah tampil di hadapan Presiden Soeharto. Tak salah, jika julukan maestro dalang tersebut tersemat untuk Ki Amo.
“Dulu pernah pentas di luar kota, pada tahun 1981 di Bandung, tahun 1986 di Jakarta, tahun 1987 bersama Pak Soeharto di Taman Ismail Marzuki,” tutur Ki Amo.
Namun beberapa tahun ini, Ki Amo sudah jarang pentas. Kelompok Seni Wayang Cepak Langgeng Kusuma yang ia pimpin pun sepi pengunjung.
Sebelumnya, setiap 1 Muharam, Ki Amo akan tampil di Keraton Kaprabonan. Dia juga kerap pentas di hajatan atau peringatan hari tertentu. Namun, saat ini minat masyarakat terhadap kesenian wayang semakin berkurang.
“Sekarang memang sepi. Lebih banyak yang memilih organ tunggal dibandingkan wayang,” ungkap Amo.
Ia pun sangat menyayangkan hal itu. Padahal kesenian wayang cepak merupakan warisan khas Cirebon yang berbeda dengan wayang golek pada umumnya. Semestinya masyarakat juga turut merawatnya.
Saat ini jumlah dalang semakin sedikit. Belum lagi dengan keadaan mereka yang sudah manula. “Untuk wilayan Cirebon timur, setahu saya hanya ada 2 dalang, saya dan Dalang Etom di Buntet. Yang lainnya sudah pada meninggal,” jelasnya.
Sebagai seseorang yang sudah lama berkecimpung di dunia perdalangan, Ki Amo hanya berharap Pemerintah Kabupaten Cirebon akan lebih memikirkan generasi dalang wayang cepak.
Kesenian tersebut, harus dikenalkan oleh generasi muda sejak dini, agar wayang cepak tidak punah dan kehilangan peminatnya.
“Saya berharap pemerintah bisa kenalkan wayang di lembaga pendidikan. Entah itu di sekolah atau perguruan tinggi. Pentaskan agar dikenal para pelajar,” harapnya.
Ki Amo merasa yakin, jika wayang cepak bisa masuk ke dunia pendidikan regenerasi akan lebih mudah. Selain itu, generasi muda akan lebih mengenal budaya leluhur seperti wayang cepak ini.
Selain itu, Amo berharap akan lebih banyak sanggar wayang cepak yang didirikan. Sehingga pemuda tidak perlu bingung ketika ingin belajar menjadi dalang. *par.