Lembaga Basa lan Sastra Cirebon (LBSC) semula merupakan wadah yang merawat keberadaan bahasa maupun aksara Cirebon. Berbagai kegiatan diselenggarakan dari seminar, kajian dan riset. Diisi oleh para pegiat budaya dan sastra, LBSC menjadi lembaga penjaga bahasa daerah yang diinisiasi Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Namun hal itu tak berlangsung lama. Setelah meninggalnya salah satu pengurus LBSC, seluruh program pengembangan bahasa Cirebon di LBSC seolah terhenti. Akibatnya upaya pelestarian bahasa Cirebon melalui strukturisasi tak lagi dilakukan.
“Kita menyayangkan semenjak almarhum Pak Noer meninggal, LBSC menjadi mandek dan program-program yang telah dirumuskan berhenti,” ujar Ketua Dewan Kesenian Cirebon Akbar Sucipto.
Beberapa faktor penyebabnya, bahasa daerah Cirebon tak lagi mendapat dukungan Pemerintah Kabupaten Cirebon maupun Pemkot Cirebon. Selain itu, kata Akbar, sulitnya mencari tenaga pengajar yang kompeten berbahasa Cirebon.
Pegiat Budaya dan Sastra Cirebon Raden Chaidir Susilaningrat berpendapat perubahan sosial masyarakat yang tak lagi menganggap penting bahasa Cirebon sebagai bahasa ibu, menjadi kekhawatiran bahasa Cirebon akan dilupakan generasi muda di kemudian hari. Di luar itu, perkembangan teknologi yang cepat telah melahirkan kebiasaan baru termasuk dalam berbahasa.
“Zaman dulu petani menggarap sawah menggunakan kerbau, tapi sekarang sudah menggunakan mesin. Semua jadi lebih mudah. Saya rasa fenomena sosial ini juga yang mempengaruhi masyarakat mengalami perubahan dalam berbahasa,” jelas Chaidir.
Sebagai pegiat budaya, ia pun waswas melihat fenomena tersebut. Cirebon dikenal dengan wilayah yang memiliki banyak budaya, tidak hanya ritual adat tetapi memiliki bahasa yang khas. Sehingga menyesalkan pasifnya LBSC yang dapat berakibat pelestarian bahasa Cirebon semakin tidak terkendali.
“Dulu di Cirebon LBSC menjadi corong penjaga bahasa Cirebon. Tapi semenjak Pak Nurdin wafat pada tahun 2020 kemarin, lembaga tersebut mulai tidak aktif. Saya rasa ini juga yang menjadi faktor pelestarian bahasa cirebon tidak terkontrol,” tuturnya.
Menurutnya, keberadaan lembaga bahasa sangat penting untuk pelestarian bahasa daerah. Dengan adanya lembaga bahasa, setidaknya menjadi wadah dari produk-produk para pegiat budaya.
“Jadi sangat disayangkan jika lembaga bahasa Cirebon dibiarkan tidak aktif begitu saja,” ujarnya.
Ia pun mengungkapkan, sering berdiskusi bersama para pegiat bahasa dan budaya untuk bersama-sama membenahi LBSC dengan membuat kegiatan bertemakan pelestarian bahasa daerah Cirebon.
“Dalam setiap pertemuan, kadang saya ajak teman-teman untuk hidupkan lagi lembaga bahasa Cirebon. Dengan kegiatan seminar, lomba pidato atau standup bahasa Cirebon,” ungkap Chaidir.
Oleh karenanya ia berharap LBSC dihidupkan kembali. Pemerintah harus mulai bertindak serius mengaktifkan lembaga tersebut.
"Banyak jika kita bahas tentang bahasa daerah. Tapi sederhananya harus ada perda khusus bahasa. Selain lembaga bahasa yang harus aktif lagi," tandasnya.
Sejauh ini, Imam MJ, Pegiat Bahasa sekaligus Founder Komunitas Sketsa Pribumi menilai pemerintah kurang tegas dalam upaya pelestarian bahasa daerah.
“Yang saya tahu peraturan untuk pelestarian bahasa daerah itu masuk dalam 5 pasal Perda kebudayaan, dan menurut saya itu kurang efektif, karena dalam pelestarian bahasa itu akan ada revitalisasi bahasa daerah, rekonstruksinya, kemudian dokumentasi,” tegas Imam.
Imam juga berharap agar dinas yang bertanggungjawab melestarikan bahasa Cirebon bisa lebih membuka ruang bagi para pegiat bahasa yang berjuang melestarikan bahasa daerah. Pasalnya, sejauh ini, ia melihat perhatian dinas terhadap komunitas dan pegiat budaya dianggap kurang.
“Saya berharap Disbudpar bisa memberi respon yang serius pada komunitas atau pegiat budaya yang berniat untuk melestarikan bahasa daerah. Jika Disbudpar bisa berjalan beriringan dengan komunitas atau pegiat bahasa mungkin akan lebih mudah untuk sama-sama mengawal bahasa Cirebon,” jelas Imam. *Par