Bahasa Cirebon menjadi salah satu mata pelajaran (mapel) muatan lokal (mulok) yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon. Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon mewajibkan seluruh jenjang SD dan SMP menambah mapel Bahasa Cirebon satu kali pertemuan dalam seminggu.
“Memang kita sudah instruksikan seluruh sekolah SD dan SMP di bawah kita untuk wajibkan mapel bahasa Cirebon minimal 2 jam untuk SMP dan 1 jam SD sekali pertemuan dalam seminggu,” ujar Kasi Tenaga Pendidik dan Kependidikan SMP Disdik Kabupaten Cirebon Muhamad Rukhyat Zain.
Menurutnya, secara teknis, Disdik Kabupaten Cirebon hanya memfokuskan dua kurikulum mulok: Bahasa Sunda dan Cirebon. Namun tak dipungkiri, jika sekolah juga berhak menambah mulok sesuai kebutuhan.
“Nah kalau waktu atau hari mapel Bahasa Cirebon diserahkan ke sekolah yang mengatur. Begitu pun dengan gurunya,” tambahnya.
Meski demikian mapel Bahasa Cirebon dalam sekali pertemuan dinilai belum optimal karena tak membuat siswa cepat memahami bahasa Cirebon. Di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) KH Abdurrahman Mahmud, Desa Mertapadawetan, Kecamatan Astanajapura misalnya, rata-rata siswa lancar berbahasa Cirebon Padinan. Tetapi tidak dengan bahasa Cirebon Bebasan.
“Sebagian besar siswa hanya memahami sedikit kosa-kata bahasa Cirebon Bebasan. Misalnya kata sampun (sudah) karena sering mereka ucapkan ketika selesai belajar,” ujar Munawaroh, Guru SDIT Abdurrahman.
Jadwal pelajaran bahasa Cirebon yang hanya 1 jam untuk tingkat SD, kata Munawaroh, dirasa kurang untuk bisa dipahami oleh para siswa. Selain itu, belum adanya standar kurikulum Bahasa Cirebon produk Pemerintah Kabupaten Cirebon juga dianggap menjadi penyebab. Sementara ini, yang diajarkan di sekolah masih menggunakan buku terbitan milik pemerintah provinsi.
“Saya ngajar Bahasa Cirebon ke siswa pakai buku “Belajar Basa Lan Sastra Cerbon-Dermayu” yang dibuat oleh Disdik Provinsi Jawa Barat,” ungkapn Munawaroh.
Sejumlah Budayawan Cirebon ditengarai tengah berinisiasi membuat buku Bahasa Cirebon yang akan ditawarkan ke pemerintah daerah sebagai kurikulum pembelajaran.
“Saya sempet jadi tim penulisan buku bahasa Cirebon bersama Pak Salim, Mas Imam Pa Akbar Sucipto dan lain-lain. Tetapi saya tidak melanjutkan karena bentrok dengan kegiatan yang lain,” ujar Akademisi IAIN Syekh Syibli Maufur.
Di luar itu, keterbatasan guru yang memiliki kompetensi unggul dalam Bahasa Cirebon juga dianggap menjadi penyebab para siswa di sekolah tak mudah menerima pelajaran.
“Bahasa Cirebon ini penting diajarkan di sekolah. Sayangnya, hingga kini belum ada guru lulusan prodi bahasa Cirebon. Sebab belum ada universitas yang membuka prodi bahasa Cirebon. Bagi saya itu juga penyebab,” kata Syibli.
Oleh karenaya, Syibli juga berupaya mengatasi kekurangan guru bahasa Cirebon dengan menambah mata kuliah (MK) Budaya dan Bahasa Cirebon bagi mahasiswa prodi PGMI IAIN Syekh Nurjati Cirebon sebanyak 8 satuan kredit semester (sks).
Kondisi tersebut juga disadari Rukhyat. Ia mengaku kesulitan mendapatkan guru bahasa Cirebon sehingga pengambilan guru bahasa Cirebon diserahkan kepada kebijakan sekolah masing-masing.
Upaya melahirkan sarjana bahasa Cirebon, Rukhyat sejatinya telah berkoordinasi dengan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) agar perguruan tinggi membuat program studi bahasa Cirebon. Namun hingga kini belum ada satu pun perguruan tinggi yang mau merealisasikan.
“Sebenarnya ada sih universitas yang ingin membuka prodi bahasa Cirebon, tapi mereka khawatir sepi peminat,” ungkapnya.
Meski demikian Rukhyat berharap, pelestarian bahasa Cirebon melalui pembelajaran di sekolah tetap harus dilakukan karena dapat meningkatkan karakter siswa. Ia pun menghimbau para pengajar mengajarkan mapel Bahasa Cirebon sampai tahap budi pekerti siswa.
“Contohnya ketika guru memanggil siswa, siswa diajarkan untuk menjawab enggih dengan badan menunduk. Itu menandakan siswa tidak hanya memahami arti bahasa bebasan tetapi juga sikap dalam berkomunikasi,” pungkasnya. *Muiz