Kondisi bahasa Cirebon yang menjadi warisan bahasa daerah perlahan dianggap mulai ditinggalkan sebagai bahasa ibu di wilayah perkotaan Cirebon.
Pegiat Bahasa Cirebon Akbar Sucipto mengungkapkan, secara umum kondisi bahasa Cirebon saat ini cukup memprihatinkan. Di wilayah perkotaan atau perbatasan kota, telah jarang digunakan sebagai bahasa keseharian. Sementara di wilayah perdesaan penggunaan bahasa Cirebon masih dipakai dalam interaksi sehari-hari.
“Kalau di lingkungan kota saya merasa yakin banget banyak yang tidak mengenal bahasa Cirebon. Dan itu berdampak di lingkungan perkampungan kabupaten salah satunya di Sumber. Orangtua tak lagi menggunakan bahasa Cirebon sebagai bahasa ibu maupun untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya,” ungkapnya.
Belum lagi jika melihat para pakar bahasa Cirebon yang semakin berkurang baik karena meninggal maupun minimnya regenerasi.
“Sekarang sudah masuk ke level emergency atau darurat, karena tokoh-tokoh dan para ahli Bahasa Cirebon yang semakin sedikit. Walaupun dari sisi akademik masih ada para pakar filologi, namun mereka hanya ahli dalam membunyikan huruf bukan menggunakan huruf,” ungkapnya.
Meski demikian, Akbar menilai, beruntung pelestarian bahasa Cirebon masih dirawat oleh kelompok masyarakat kultural di kawasan pondok pesantren maupun keraton. Hampir sebagian besar pesantren dan keraton memakai bahasa Cirebon Bebasan dalam percakapan sehari-hari atau pun dalam proses pembelajaran.
“Kita itu tertolong dengan adanya pondok pesantren. Kalau di pondok itu setiap kali bicara dengan kiai atau santri pasti menggunakan bebasan untuk menjaga etika dan sopan santun. Begitu juga di keraton, di mana masih ada aturan adat keluarga kerajaan yang mengharuskan berbicara bahasa bebasan,” jelas Akbar.
Sementara penggunaan bahasa Cirebon selain di dua entitas tersebut, hanya dapat ditemui dalam acara adat atau pagelaran kesenian khas cirebon. Dalam setiap pertunjukan wayang cepak misalnya, bahasa Cirebon digunakan untuk mengisahkan babad cirebon.
Pegiat Bahasa Cirebon lainnya sekaligus Founder Komunitas Sketsa Pribumi Imam Miftahul Jannah (MJ) beranggapan, bahasa Cirebon seperti sedang terjun bebas dan tidak ada yang menyelamatkan. Dalam arti, kondisinya tengah dibunuh maupun bunuh diri.
Hal itu terbukti dari nihilnya peraturan daerah sebagai dasar hukum penggunaan bahasa Cirebon dalam lingkup pemerintah. Percakapan bahasa Cirebon tak ditemui dalam rapat pemerintah desa hingga kabupaten.
“Bahasa Cirebon hanya digunakan pada saat pementasan wayang dan acara adat tertentu saja. Di lingkungan pemerintah sepertinya jarang, bahkan mungkin tidak ada. Kalaupun ada mungkin hanya di momen tertentu, bukan kegiatan rutin,” ujar Imam.
Imam pun berpendapat, akan lebih baik jika dalam setiap rapat pemerintah baik desa hingga kabupaten penggunaan bahasa Cirebon mulai dilakukan. Ditambah dengan wajib berbahasa Cirebon seminggu sekali.
“Saya mengibaratkan demikian seperti dibunuh atau bunuh diri. Kita sebagai masyarakat cirebon seakan membunuhnya, dari mulai malas mempelajari bahasa Cirebon hingga tidak adanya hukum yang mengatur pelestarian bahasa Cirebon,” ujar Imam.
Pemerintah Kabupaten Cirebon memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam upaya pelestarian bahasa daerah. Sebagaimana amanat Undang-Undang, kata Imam, Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman.
Meski demikian, Imam mengakui tugas menjaga bahasa Cirebon bukan hanya pemerintah, melainkan seluruh masyarakat Cirebon khususnya para orangtua juga memiliki tanggungjawab untuk memastikan warisan leluhur tersebut tetap ada dan terjaga.
“Kepada orang tua juga seharusnya membantu mengenalkan bahasa daerah kepada anak-anaknya sejak kecil. Kalo bahasa indonesia saya rasa dengan sendirinya anak akan bisa, entah itu belajar dari TV ataupun saat di sekolah nanti,” tandasnya. *Par