Kopi Pagi edisi Mei 2023

Gambit Menteri

Dalam berbagai kesempatan sering saya mendapat pertanyaan: “Kang kapan Cirebon kuh bisa maju? Aja mengkenen bae sih.” Saya melihatnya itu bukan pertanyaan biasa. Tapi, berupa curahan dari kedalaman hati, sekaligus juga tantangan.  

Ya, tantangan. Seolah ia berkata: “Sebagai wakil rakyat, apa yang bisa dilakukan untuk Cirebon lebih baik?” Tentu saja ini hal yang positif. Sebagai pengingat dan pelecut kinerja. Saya berterimakasih untuknya.  

Memang, berbagai indikator ekonomi menunjukkan bahwa Kabupaten Cirebon termasuk tertinggal, dibanding Kabupaten lain di Jawa Barat. Wajar jika warga merasakan ‘mengkenen bae’.  

Dalam kondisi tertinggal, tentu semaksimal mungkin harus membuat sebuah perencaan dan aksi yang juga tidak mengkonon-mengkonon bae. Harus berbeda, inovatif, berani, dan komprehensif.  

Pemerintah bersama DPRD Kabupaten Cirebon kini sedang menggodok Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW). Perda ini diharapkan menjadi pondasi pembangunan dan pengembangan Kabupaten Cirebon, baik secara tata ruang, tata wilayah, maupun tata kelola ke depan. 

Hal penting yang harus diakomodasi dalam Perda ini adalah menjadi dasar pembangunan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Selain itu diharapkan menjadi solusi berbagai permasalahan lingkungan seperti pencemaran, banjir dan sampah. 

Untuk itu kita perlu memainkan strategi yang ciamik agar tata ruang dan wilayah dapat mampu secara maksimal memompa segala potensi yang ada, baik potensi tanah, sumber daya alam, maupun sumber daya manusia. 

Strategi yang dipilih harus agresif. Ibarat catur, pembukaan gambit menteri cocok untuk menggambarkan situasi ini. Strategi biasa, seperti gambit raja apalagi pertahanan india tentu kurang pas. 

Gambit menteri sebenarnya bukanlah strategi baru dalam dunia catur. Strategi ini sudah disebutkan dalam manuskrip Gottingen 1490. Pembukaan bidak di depan menteri ini kemudian populer setelah turnamen di Wina pada 1873. 

Pembukaan ini dinilai agresif karena (1) dengan cepat para perwira bebas bergerak dan berdaya, dan (2) penguasaan area lebih luas dan maksimal. Syaratnya memang ada satu bidak di depan gajah (peluncur) dikorbankan. 

Perwira bebas bergerak bisa menjadi simbol --dalam konteks penyusunan RTRW—bahwa potensi SDM yang ada di Cirebon bisa diberdayakan secara maksimal, tumbuh dan berkembang berpartisipasi membangun. Sedangkan, penguasaan area dapat berarti ruang atau wilayah yang ada di Cirebon dapat produktif maksimal, area yang tadinya mati bisa menjadi hidup dan menghidupi.  

Sementara bidak yang dikorbankan bisa diartikan harus ada sedikit ruang atau wilayah yang dikorbankan. Pengorbanan ini wajib menjadi pemantik hidupnya ruang yang lain. Pada akhirnya SDM dan SDA dapat maksimal diberdayakan. 

Pada titik itu industri dan perdagangan akan tumbuh di semua sektor, terutama pariwisata, pertanian, kelautan, dan manufaktur. Ekonomi akan tumbuh, pengangguran terkikis, dan kesejahteraan meningkat.               

Jadi jika nanti dalam Perda RTRW ada sedikit ruang yang ‘dikorbankan’ bukan berarti destruktif, tapi dalam kerangka tujuan besar tersebut. Jika nanti ada sedikit area pertanian atau pantai yang berubah peruntukkan, maka yakinlah itu demi kebaikan bersama. 

Jika tidak ada kesadaran bersama dan dukungan semua elemen masyrakat maka sulit kita melakukan akselerasi. Jangan harap kita bisa melepaskan diri dari kemiskinan dan membengkaknya angka pengangguran, apalagi berharap mampu bersaing dengan kabupaten lain.  

Pilihannya gambit menteri, atau kaya kenen bae!

 

Pencarian
Edisi Terbaru 2024
Agustus 2024
Cover edisi Agustus 2024
Juli 2024
Cover edisi Juli 2024
Juni 2024
Cover edisi Juni 2024