Belasan kain batik yang tengah dijemur tersusun rapi di depan halaman rumah Toifah. Kain-kain itu baru selesai dilukis Toifah dengan nuansa tumbuhan dan pepohonan. Siang itu di Blok Kebon Gedang Desa Ciwaringin, Kecamatan Ciwaringin, Toifah terlihat lihai menggoreskan tinta ke canting selembar kain.
Untuk menyelesaikan satu kain, Toifah bisa menghabiskan waktu sebulan bahkan lebih jika motifnya rumit. Sementara kain yang selesai dilukis membutuhkan 2 hari untuk kering. Sebagian batik yang kering dijemur selanjutnya akan dijahit menjadi baju. Sebagian lain akan ditumpuk di dalam etalase galeri.
Toifah harus merogoh kocek Rp 350 ribu untuk satu kain, jika menggunakan sutra, harganya bisa lebih mahal.
Toifah sudah menahun menjadi perajin batik Cirebon bermotif khas Ciwaringin. Saat usianya masih belasan tahun, Toifah sudah diajarkan cara membatik oleh orangtuanya. Hingga pada tahun 2014 dia membuka galeri di samping rumahnya bernama Batik Selfy.
Di tahun pertama membuka, galeri Toitah ramai pengunjung dari luar jawa bahkan wisatawan asing. Semua berubah saat pandemi mendatang. Toko galerinya mulai sepi pembeli. Bahkan pesanan dari luar pun semakin berkurang. Toifah hanya mengandalkan kedatangan wisatawan secara langsung.
Toifah mengatakan, pendampingan untuk perajin batik belum merata. Pemerintah Kabupaten Cirebon dinilai hanya melibatkan pemilik batik raksasa, sementara masih banyak perajin seperti Toifah harus bertahan di antara himpitan para pemilik batik raksasa..
“Kalau di Trusmi mungkin masih mending, sudah lebih tertata. Kalau di Ciwaringin, semenjak pandemi sama sekali tidak ada pengunjung. Kalau ada pameran, pemerintah hanya ajak orang tertentu saja,” katanya.
Toifah juga berupaya untuk menjual produk batiknya melalui daring, tapi tetap tidak ada yang tertarik. Sehingga akun marketplace miliknya terbengkalai tidak terurus.
“Saya juga jual di marketplace dan media sosial, tapi karena saya tidak mengerti cara menggunakannya jadi tidak terurus,” ucapnya.
Toifah mengaku sempat berhenti produksi karena stok di galeri masih banyak yang belum terjual, sementara modal produksi tak kunjung kembali. Dia mengaku beberapa kali ditawari modal, namun belum dia ambil.
“Kalau tidak ada yang terjual bagaimana kita balik modal. Pernah ada yang nawarin modal, tapi saya tolak karena takut tidak bisa mengembalikannya,” tambah Toifah.
Hal serupa juga dialami Heri Kismo, pelaku UMKM batik dari Desa Trusmi yang mengalami kendala pemasaran. Galerinya, Batik Hafiyan yang terletak di Jl Trusmi Kulon, Desa Trusmi Kulon, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon juga ditinggal pembeli.
Laki-laki yang juga merupakan Ketua Paguyuban Perajin dan Pengusaha Batik Cirebon (P3BC) itu mengatakan, masih banyak perajin batik yang mengalami persoalan pemasaran. Heri menjelaskan, selama ini ia dan pelaku UMKM sejenisnya hanya mengandalkan penjualan batik secara offline.
“Hanya 10 persen perajin ataupun pelaku usaha batik yang sudah menggunakan digitalisasi marketing melalui Facebook, Instagram, website, dan Marketplace,” kata Heri.
Ia pun membandingkan kondisi tersebut dengan daerah lain yang telah maju seperti Pekalongan dan Solo.s
“Cirebon masih kalah jauh. Beranda marketplace masih dipenuhi produk batik dari wilayah itu,” ujarnya.
Karena itu, dia berharap agar seluruh pelaku UMKM Batik Cirebon benar-benar dilatih pemasaran online. Agar produk batiknya bisa dijangkau orang lebih luas, tidak hanya untuk pelaku usaha yang memang sudah punya nama besar saja.
Meski demikian, Kepala Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Cirebon Rodiya membantah tidak mendampingi para pelaku UMKM batik. Ia mengatakan, Disperindag telah beberapa kali melakukan pelatihan untuk UMKM bidang pemasaran.
“Kita sudah beberapa kali melakukan itu. Setahun dua kali kami upayakan melakukan pelatihan pemasaran secara offline maupun online, hanya saja memang pesertanya dibatasi sekitar 30 agar lebih fokus,” ujar Rodiya.
Rodiya menjelaskan, mengapa masih ada perajin batik Cirebon yang sulit memasarkan produknya karena pandemi yang berdampak hampir di semua sektor. Termasuk pelaku usaha lainnya.
Rodiya mengklaim, telah berupaya untuk meningkatkan kualitas dan produksi batik Cirebon melalui pendampingan secara offline dan online. Bahkan memfasiliasi gratis kepada pelaku usaha termasuk batik untuk mengikuti pameran dan bazar di pasar-pasar tradisional atau modern.
Selain itu Disperdagin telah memberi bantuan kepada perajin batik berupa canting.
“Kami juga melakukan pendampingan melalui pelatihan untuk meningkatkan produk, harapannya kita jangan hanya menjual kain tapi juga berupa pakaian,” jelas Rodiya.
Baik Heri dan Toifah, hanya berharap agar Pemerintah Kabupaten Cirebon tak pilah-pilih dalam melakukan pendampingan .
“Kita ingin pendampingan merata bukan hanya pada perajin yang sudah besar melainkan perajin batik yang di level menengah dan masih merintis,” kata Heri. *Par