Setiap sore di Desa Gembongan, Kecamatan Babakan, puluhan anak-anak akan memadati area rel kereta api yang berlokasi dekat dari pemukiman. Mereka tampak ceria bermain, bercanda di sekitar rel. Ada yang tengah berjalan di baja rel, mengambil batu maupun berlarian. Saat bunyi kereta terdengar mendekat, mereka akan berlari menghindar sebentar.
Meski bermain merupakan hal biasa, apa yang dilakukan puluhan anak desa Gembongan tentu tak dapat dibenarkan. Ancaman dan bahaya kecelakaan sewaktu-waktu dapat saja terjadi. Namun tak ada lagi pilihan. Mereka terpaksa bermain di rel kereta karena tak adanya ruang bermain yang tersedia di desa.
“Memang terpaksa anak-anak itu bermain di rel kereta. Kalau saja desa memfasilitasi taman bermain anak tentu anak-anak juga bakal beralih main,” ujar Sut (43), Warga Desa Gembongan.
Sut mengatakan, anak-anak memilih bermain di sekitar rel tentu bukan tanpa alasan. Selain karena minimnya edukasi juga disebabkan minimnya ruang bermain ramah yang tersedia. Keadaan itu yang membuat anak-anak tak sepenuhnya disalahkan.
Dampak minimnya tempat bermain anak di Desa Gembongan, tak hanya menyebabkan anak memilih bermain di tempat berbahaya. Sebagian lainnya, memilih menjadi pecandu gawai tanpa kontrol. Ibu Sut, sapaanya, menceritakan, hampir setiap hari ia melihat anak-anak usia SD berkumpul di rumah salah seorang warga berjam-jam.
“Bahkan setiap malam minggu, anak-anak kecil main hape (handphone) sampai menginap di rumah itu. Biasanya mereka bermain game dan sosial media di rumah yang menyediakan wifi itu,” katanya.
Kondisi tersebut tentu membuat Ibu Sut merasa prihatin. Di usianya yang masih anak-anak, bukannya mereka beradaptasi mengenal lingkungan sekitar, justru disibukkan bermain game yang tak produktif bagi perkembangan kepribadian.
Ibu Sut berharap, tempat bermain ramah anak di Desa Gembongan bisa disediakan . Sehingga tak ada lagi anak-anak yang kecanduan game tanpa mengenal waktu maupun bermain di rel kereta yang membahayakan keselamatan.
Kuwu Desa Gembongan Sobirin pun menyadari, bila banyak anak-anak yang bermain di rel kereta api setiap hari. Bahkan saban minggu pagi, jumlahnya lebih banyak.
“Karena sambil Jogging di rel kereta jadi ramai ditambah banyak pedagang juga yang berjualan,” katanya.
Sobirin sebenarnya telah mengimbau warga untuk tidak bermain di rel. Namun imbauannya tak digubris. Karena itu, kata dia, Pemdes Gembongan berinisiatif menyiapkan petugas untuk menjaga keamanan di lokasi rel.
“Alhamdulillah keadaan kondusif. Sebab sejauh ini belum terjadi dan belum ada laporan kecelakaan. Apa lagi di rel kereta dilengkapi 4 petugas yang menjaga secara bergantian. Semoga keadaan tetap aman,” jelasnya.
Sobirin mengatakan, Desa Gembongan belum membutuhkan tempat bermain yang ramah anak karena sejauh ini sudah memiliki lapangan basket dan sepakbola.
Meski Pemdes Gembongan mempunyai banyak lahan kosong, Sobirin menjelaskan belum berencana membangun Ruang Bermain Ramah Anak (RABRA).
“Sebab kebaradaan dua lapangan itu dirasa cukup untuk memfasilitasi anak-anak bermain. Kalau permainan anak seperti ayunan, jungkat-jungkit, prosotan itu memang di desa belum ada. Lagi pula, anak-anak lebih suka bermain olahraga,” jelasnya.
Kepala Seksi Pemenuhan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Cirebon Sri Lina Andriana menjelaskan, sejauh ini Kabupaten Cirebon baru memiliki 8 tempat bermain ramah anak. Namun itu pun belum berstandar layak RBRA karena belum dinilai Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Lina menyadari, minimnya tempat bermain ramah anak di Kabupaten Cirebon menjadi penanda masih minimnya perlindungan anak di Kabupaten Cirebon. Imbasnya, banyak terjadi kasus yang dialami anak Kabupaten Cirebon seperti kekerasan seksual maupun bullying.
Meski demikian, sejumlah upaya telah ia lakukan agar tempat bermain ramah anak di Kabupaten Cirebon bisa bertambah. Pertama, ia telah berkoordinasi dengan UPTD
Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A) agar bisa mendorong setiap kecamatan memiliki RBRA. Namun upaya itu hingga kini belum terwujud.
Kedua, ia telah mendorong pemdes untuk membangun tempat bermain ramah anak. Namun upaya itu juga belum berhasil. Alasannya pemdes masih memprioritaskan dana desanya untuk program penanganan pandemi covid-19.
“Beberapa desa di Palimanan, Susukan Lebak dan Waled telah kami dorong agar menyediakan tempat bermain ramah anak. Tetapi pemdes belum memprioritaskan karena untuk kebutuhan lain,” ungkapnya.
Upaya pengadaan taman bermain ramah anak oleh pemdes-pemdes sebenarnya telah diupayakan Pemkab Cirebon melalui Surat Edaran (SE) Evaluasi Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) dan Optimalisasi Dana Desa Tahun 2020. Sayangnya dalam SE tersebut anggaran yang harus disiapkan pemdes hanya senilai Rp 9,2 juta.
Bahkan upaya tersebut hingga kini belum berjalan. Hal itu dikarenakan munculnya Peraturan Menteri Desa (Permendes) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 yang hanya memprioritaskan program pemulihan pasca pandemi.
"Kedepan kita lihat dulu bagaimana keputusan dari Bupati. Apakah kembali menerapkan surat edaran itu atau tidak", ujar Kabid Pemerintah Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Cirebon Aditya Arif Maulana.
Anggota DPRD Kabupaten Cirebon Hanifah merasa prihatin dengan minimnya RBRA di Kabupaten Cirebon. Padahal, kata dia, kebaradaan RBRA dapat membangun perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik anak.
Hanifah menjelaskan, masa golden age atau periode emas anak merupakan masa awal kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan anak yang begitu pesat. Sehingga pemerintah berkewajiban melindungi anak. Karena itu, pemerintah daerah diharapkan tidak saling lempar tanggung jawab dalam upaya mendirikan RBRA.
“Dinas-dinas harus bisa membangun banyak RBRA di Kabupaten Cirebon sesuai tupoksinya. Apalagi itu kan sudah amanah Kementerian PPPA,” pungkasnya. *Iz