Banyak yang mengatakan: “Jika ingin membangun sebuah kabupaten, maka bangun-lah desa.” Ada benarnya, namun dalam beberapa aspek, juga butuh pembenahan di tingkat, kecamatan, kabupaten, dan interkoneksi dengan provinsi dan pusat.
“Tapi tetap mulailah dari desa Kang,” ujar beberapa rekan. Tentu saya setuju, namun lagi-lagi ketika proses penyusunan anggaran (APBD), kami sering dihadapkan pada minimnya data pendukung tentang desa. Terutama data yang menjadi landasan kenapa harus membuat program dan menganggarkannya.
Data yang tersedia tidak update, alias data lama. Kadang hanya perkiraan. Bahkan, ada yang lebih parah, desa tidak memiliki data. “Ganti kuwu, ganti perangkat, semua data entah kemana, mungkin dibawa perangkat yang lama. Tak hanya itu, formulir atau format dokumen untuk pelayanan masyarakat saja tidak ada, perangkat baru harus buat lagi,” begitu cerita yang mengiringi pembangunan desa.
Jika kondisinya seperti itu bagaimana kita bisa membangun? Bukankah pembangunan itu harus berpondasikan pada data dan kondisi aktual yang akurat? Sulit juga rasanya membuat perencanaa pembangunan yang berkelanjutan.
Tujuan pemerintah membuat Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) sebenarnya cukup ideal. Dimana peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat berkesinambungan, juga bisa menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup, serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bagaimana bisa kita akan memberikan jaminan kesehatan dan sosial yang menyeluruh dan tepat sasaran, jika kita tidak tahu siapa saja yang membutuhkan? Jangan sampai kabupaten memberikan anggaran untuk penjaminan yang besar, namun sejatinya kita tidak tahu siapa saja yang dijamin di masing-masing desa.
Bagaimana mungkin kita akan meningkatkan angka lama sekolah, sementara kita tidak pernah tahu siapa saja yang putus sekolah? Data statistik menunjukkan rata-rata lama sekolah di Kabupaten Cirebon hanya 7 tahun. Benarkah? Kalau benar, siapa saja yang putus sekolah? Di desa mana saja? Alamatnya?
Bagaimana bisa kita memberikan pelayanan prima pencetakan KTP, sementara kita tidak tahu siapa saja di tiap desa yang belum memilki KTP? Berapa rata-rata kebutuhan cetak KTP per bulan per desa akibat hal-hal yang tidak terduga, misalnya hilang atau rusak?
Angka statistik menunjukkan angka pengangguran terbula di Kabupaten Cirebon 11,52 persen (2020), namun siapa saja mereka? Tingkat pendidikan mereka seperti apa? Keterampilan atau skill mereka seperti apa?
Dari data itu, tentu kita bisa menyusun langkah-langkah pengentasan pengangguran di tiap desa. Tentu ini juga berkaitan dengan data potensi ekonomi desa apa yang bisa diberdayakan? Cukupkah dengan mendirikan dan menguatkan Bumdes? Bagaimana program UKM, kawasan industri, dan pengembangan pariwisata menjawab itu semua?
Bagimana dengan pertanian menjawab permasalahan ekonomi? Berapa lahan produktif yang tersedia? Berapa dan siapa petani penggarap, serta kebutuhan tenaga kerja? Bisakah diselesaikan dengan program petani milenial, atau mesinisasi?
Belum lagi soal berapa ton kebutuhan pupuk di tiap desa? Berapa kebutuhan irigasi pertanian di tiap desa? Sehingga kita dengan yakin bisa membuat langkah-langkah alternatif pemenuhan pupuk dan pembuatan waduk di tiap-tiap daerah.
Di sektor kelautan pun demikian? Berapa jumlah nelayan? Sejauh mana kemampuan dan teknologi yang digunakan nelayan? Mungkinkah kita membuat program penyediaan kapal besar diatas 30 GT, atau 200 GT? Bagaimana pengelolaan hasil lautnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu tentu harus kita jawab dan akan terjawab jika kita memiliki data yang akurat di tiap-tiap desa yang selalu ter-update. Saatnyalah kita membuat sistem data terpadu (single data system) yang berbasis desa.
Sehingga kita bisa membangun bukan atas dasar kebutaan data. Bagaimana mungkin kita membangun Cirebon agar katon, jika kita sendiri buta akan Cirebon?