Menjadi anak petani desa tak membuatnya bercita-cita rendah. Sejak remaja, Sucipto telah berkeinginan menempuh pendidikan hingga tingkat tinggi di kampus ternama.
Saat masih duduk di bangku SMA, Sucipto bukanlah tergolong murid yang pandai. Ia siswa biasa yang hanya berhobi olahraga.
Pasca lulus SMA, ia pun memberanikan diri mendaftar di dua perguruan tinggi: akademi keperawatan dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun Sucipto tak lulus seleksi.
Setelah mendapat kabar ia tak lulus di dua perguruan tinggi idamannya, Sucipto memilih banting setir terlebih dahulu untuk membiayai kehidupannya dengan menguli.
“Ya waktu saya dapat kabar tidak lulus, dan ongkos sudah menipis, saya harus jadi peladen kuli dulu di Bandung untuk menyambung hidup,” kenangnya menceritakan.
Suatu hari saat ia tengah sibuk menguli, Sucipto bertemu teman lamanya asal Indramayu yang akan mendaftar di sekolah kedinasan Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sumedang. Sucipto pun disarankan agar ikut mendaftar. Sempat menuai perdebatan panjang karena keraguan, Sucipto pun luluh dan terbujuk.
“Akhirnya saya ikut daftar tes bareng teman saya. Dan saat pengumuman tiba saya dikabarkan lulus sementara temen yang mengajak saya tertolak,” ungkapnya.
Bak kejatuhan bulan, semula Sucipto benar-benar tak percaya. Ia bahkan harus melihat berulang kali papan pengumuman untuk memastikan namanya tertera.
“Saya bahagia banget dan karena lulus saya berhenti jadi kuli. Saya pulang untuk minta restu ke orangtua dan mendaftar ulang,” jelasnya terharu.
Singkat waktu, seusai menoreh gelar di IPDN dan menjadi abdi negara, tahun 1988, Sucipto pun ditugaskan menjadi staf pemerintahan. Tak berselang lama, Sucipto dirotasi membantu pelayanan di kantor Kecamatan Beber.
“Lalu saya dipindahkan lagi jadi Kasi Pemerintahan. Pada tahun 1989 saya dinas di IPDN menjadi instruktur hingga tahun 1991,” tutur pria kelahiran Desa Bongas Lor, Indramayu itu.
Menjadi instruktur di kampus almamaternya, Sucipto sangat bangga dan senang. Karena ia benar-benar mengagumi instruktur.
“Saya sangat bangga karena di zaman itu fisik saya benar-benar masih prima, berbeda dengan sekarang yang mulai melemah seiring bertambahnya usia,” ujarnya.
Bernama lengkap Drs H Sucipto MM itu bahkan sempat ditawarkan menjadi dosen tetap di IPDN namun ia menolaknya. Akhirnya ia pun dikembalikan ke Cirebon.
“Kalau saya masih di IPDN mungkin sudah jadi profesor atau doktor. Temen temen saya sudah banyak yang jadi doktor,” jelas Sucipto.
Karirnya di Cirebon dianggap moncer. Sucipto malang melintang menjadi Camat dari Pangenan, Pasaleman, Depok, Pangguragan, Kedawung, Plumbon, Astanajapura dan Ciwaringin. Sucipto juga sempat berdinas di Inspektorat dan pernah menjabat sekretaris Disnaker Kabupaten Cirebon.
Barulah seusai purna tugas menjadi camat Plumbon, pada tahun 2018 ia dialihkan untuk membantu tugas Sekretariat DPRD Kabupaten Cirebon dengan menjadi Kabag Perundang-undangan dan Persidangan.
“Sejak awal 2018 saya ke DPRD menjabat Kabag Perundang-undangan sampai sekarang. Mungkin karena belum ada yang layak lagi,” guraunya terkekeh
Selama bertahun-tahun menjadi ASN, Sucipto mengungkapkkan pelajaran yang dapat ia ambil sebagai motivasi hidup. Ia benar-benar belajar tentang kesabaran dan bagaimana menerima keadaan apapun dengan tetap bersyukur. Baginya orang baik harus siap jika nanti tersisihkan.
“Harus ikhlas dengan kondisi kita. Kalau kita orang baik, maka kita harus siap tersisihkan dan siap ditempatkan di manapun. Orang benar bukan siap menang. Semakin kita benar semakin kita diuji kesabarannya. Dan terakhir kta tidak perlu dendam dengan siapapun,” pungkasnya. *Kus