Belum juga matahari meninggi, Panji sudah memanaskan motornya. Hari itu, ia berencana menuju kantor kecamatan untuk membuat Kartu Tanda Penduduk elektronik (E-KTP) baru. Di usianya yang menginjak 27 tahun, kehilangan E-KTP sejak 2019 membuatnya sangat kewalahan. Ia bahkan merasa kesulitan saat ingin mendapatkan vaksin hingga melamar kerja.
“Karena enggak ada E-KTP, saya hanya kerja sampingan dengan menjadi tukang panjak kesenian burok yang sewaktu-waktu. Itu pun kalau memang lagi musim nikahan atau hajatan. Kalau enggak saya kadang nganggur,” ucap Panji.
Sesampainya di kantor kecamatan, Panji pun langsung diterima oleh petugas pelayanan E-KTP kecamatan. Panji diminta untuk menginstal aplikasi Sistem Informasi Terpadu Kependudukan (SINTREN) di gawai miliknya dan mendaftar sendiri.
“Kalau enggak kalau itu awal tahun 2021, saya juga membawa surat kehilangan dari Polsek, tapi kata petugas kecamatan langsung registrasi dulu di aplikasi SINTREN. Jujur saya belum paham dan belum tahu caranya,” ungkap Panji.
Panji pun mengalami kesulitan saat melakukan registrasi. Ia mengeluh karena loading aplikasi memakan waktu lama, dan aplikasi tiba-tiba keluar berhenti.
“Kata petugas kecamatan, ikuti saja intruksi dari aplikasi. Saya coba berkali-kali ikuti saat sudah di rumah, tapi lama dan malah mental kembali ke beranda awal,” keluhnya.
Hal itu pun dibenarkan oleh Kasi Pelayanan Kecamatan Pangenan Sopiyah.
"Memang aplikasi Sintren sering eror. Jangankan warga, kita saja sering mengalami. Jadi memang harus sabar," jelasnya.
Pada akhirnya Panji memutuskan meminta tolong pada perangkat desa untuk mengurus cetak ulang E-KTP. Panji pun diminta membayar agar E-KTP bisa segera dicetak. Ia pun tak punya pilihan lain karena sedang membutuhkannya.
“Saya tahu pembuatan E-KTP tidak dipungut biaya. Tapi karena saya sedang butuh, dan teman sama tetangga juga pernah mengalami ini, jadi saya ikhlas membayar untuk cetak ulang E-KTP,” jelas Panji.
Cerita lainnya dialami Cahyadi, warga Desa Sinarancang, Kecamatan Mundu. Ia harus membayar sejumlah uang saat membuat akta lahir untuk putra bungsunya yang baru lahir.
“Ada petugas desa yang meminta saya untuk bayar kurang lebih Rp 250.000 untuk administrasi,” ungkapnya kepada Cirebon Katon.
Harga tersebut dikatakan Cahyadi, sebagai ganti penyelesaian pembuatan akta baru dan biaya antar langsung ke rumah. Cahyadi pun tak menolak. Baginya, nilai itu tak sebanding bila ia harus menunggu mengurusnya sendiri.
"Saya tidak mau ambil pusing karena pengen biar cepat jadi, jadi saya bayar saja,” tuturnya.
Namun demikian, alih-alih akta lahir segera jadi, Cahyadi tetap harus menunggu selama 3 bulan. "Saya enggak tahu kenapa tetap lama padahal saudara saya kalau bayar katanya akta lahir itu bisa cepat,” imbuhnya.
Berbeda halnya dengan Zulkifli, warga Desa Pabuaran Lor. Setelah menikah pada 2021, Zulkifli berinisiatif membuat kartu keluarga (KK) baru saat membutuhkan BPJS untuk biaya persalinan istrinya.
Pria 25 tahun itu pun menyambangi kantor Desa Pabuaran Lor, untuk mengajukan pembuatan KK baru. Seperti kelaziman, ia pun tak lupa menyiapkan uang sebagai tanda terimakasih untuk petugas desa yang akan mengurusnya.
"Sebenarnya petugas desa tidak meminta, tapi di sini sudah terbiasa seperti itu. Setiap pembuatan E-KTP atau KK kami memberikan Rp 25.000- Rp 50.000 sebagai uang rokok gitu," kata Zulkifli.
Sementara itu, Rizky Firmansyah, pria 29 tahun warga Kabupaten Kuningan, justru harus apes setelah ia mengajukan pemindahan E-KTP miliknya. Rizky harus dipaksa membayar ratusan ribu untuk mengurus kepindahannya di Desa Kancikulon, Kecamataan Astanajapura.
"Saya diminta bayar Rp 250 ribu untuk pindah E-KTP jadi Cirebon supaya cepat jadi katanya, tapi ternyata tetap juga lama," kata Rizky.
Baik Panji, Cahyadi, Zulkifli dan Rizki merupakan sebagian warga Kabupaten Cirebon yang merasakan betapa sulitnya mendapatkan kebutuhan publik secara cepat dan gratis tanpa adanya biaya tambahan. Pungli hingga praktik gratifikasi pelayanan publik bukan kabar baru dalam birokrasi tak terkecuali pemerintah daerah (pemda).
Sepanjang tahun 2021 misalnya, Ombudsman RI mencatat, jumlah laporan masyarakat terbanyak mengenai pungli dan gratifikasi mengarah terjadi di level pemda sebanyak 7.186 laporan atau 40 persen dari total laporan.
Ombudsman RI menilai, tingkat kepatuhan pemerintah daerah dalam memenuhi standar pelayanan publik masih rendah. Hal tersebut tentu berlawanan dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang membebankan negara untuk memenuhi kebutuhan publik.
Selain itu, UU No 25 Tahun 2009 Pasal 28 mengatakan, penyelenggara pelayanan publik wajib mengumumkan dan mencantumkan batas waktu penyelesaian pekerjaan secara jelas dan terbuka. Sementara untuk pembuatan KK atau e KTP sebagaimana poin a, paling lambat 14 hari setelah pemohon mengajukan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 atas perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pasal 79 A juga menjelaskan, pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya sama sekali.
Larangan pemungutan biaya yang dimaksud yakni untuk pembuatan dokumen kependudukan: kartu keluarga, akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian, akta perceraian, akta pengakuan anak, termasuk E-KTP.
Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Cirebon Hasan Basori mengatakan manajemen pelayanan publik di Kabupaten Cirebon sudah seharusnya segera dibenahi. Pasalnya, ia sering kali mendapat keluhan dari banyak warga mengenai lambannya pelayanan administrasi kependudukan.
Menurutnya, pentingnya mengurai mengapa proses pembuatan kebutuhan administrasi publik menjadi lama agar pelayanan publik di Kabupaten Cirebon dapat mencegah terjadinya pungli maupun gratifikasi.
“Sekarang kalau kita lihat bagaimana proses gratifikasi pelayanan, lahir karena warga berpikir dengan uang akan cepat. Lambat laun itu kan jadi budaya sampai sekarang. Kalau tidak dikasih justru aneh dan bahkan di beberapa kejadian cenderung memaksa. Makanya harus kita urai. Apakah lama itu proses dari Disdukcapil ke kecamatan atau memang pendistribusian yang bermasalah,” ujarnya.
Hasan mengungkapkan, pembuatan E-KTP, KK maupun akta kelahiran seharusnya bisa lebih cepat. Pelayanan yang lambat tersebut dinilai terjadi karena manajemen data dan sistem administrasi di Disdukcapil belum berjalan optimal. Akibatnya cara konvensional tetap dilakukan dan menyebabkan celah pungli terbuka.
“Harusnya maksimal hanya beberapa hari untuk cetak KK, KTP dan administrasi publik lainnya. Tiga hari sudah paling ideal, tinggal Disdukcapil harus punya inovasi agar bisa memberikan pelayanan yang lebih cepat,” tutup Hasan. *Par