Banyak orang beranggapan bahwa ‘di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat’. Biasanya sambil mengutip ucapan pujangga Romawi Abad Kedua, Decimus Iunius Juvenalis: Mens sana in corpore sano. Ada benarnya, tapi menurut saya kurang lengkap, terutama dalam konteks pembinaan olahraga.
Kita sering menyaksikan atau membaca di media tentang karut-marut pembinaan olahraga. Rame (ribut) mulu tapi nol prestasi. Kalaupun ada prestasi, ujungnya ribut juga. Ribut saling klaim peran: ‘sayalah yang membuatnya berprestasi’.
Saling klaim itu lalu menghasilkan cibiran masyarakat, dan biasanya berakhir saling menyalahkan antar pengurus atau pejabat. Kemudian menguap begitu saja. Karut-marut pun tetap menjadi benang kusut, tanpa perbaikan pembinaan.
Hingga muncul letupan prestasi berikutnya, lalu klaim lagi, ribut lagi. Begitu seterusnya bak lingkaran tak berujung. Pertanyaanya mau sampai kapan begitu terus?
Bicara olahraga (sport) tak bisa dipisihkan dari sifat-sport, atau sportif. Inilah jiwa olahraga. Jika olahraga kehilangan sportivitas, maka yang terjadi bisa berupa klaim peran pribadi masing-masing. Pribadi disini bisa atlet, pelatih, pembina, pengurus lembaga olahraga, suporter, bahkan bisa pejabat.
Sportivitas tidak hanya harus terjadi di lapangan pertandingan atau arena olahraga. Tapi jauh sebelum itu, harus dijunjung tinggi para pengurus dan pejabat. Sportif membina. Sportif akan kemenangan, juga sportif atas kekalahan.
Serius membina sepenuh jiwa, jangan lengah dan lelah memberikan dukungan. Sehingga ketika atlet binaan berprestasi, tanpa perlu sibuk mengklaim. Publik akan dengan sendirinya menilai bahwa para pengurus dan pejabat telah bekerja dengan baik.
Jiwa sportif akan melahirkan pribadi fair-play, baik di dalam lapangan, luar lapangan, maupun dalam konteks pembinaan olahraga. Jika sebaliknya, tanpa sportivitas, maka olahraga kehilangan jiwa. Tidak adanya fair-play dalam lapangan maupun dalam pembinaan.
Kalau sudah demikian, lembaga olahraga sudah menjadi ajang benturan berbagai kepentingan. Sehingga karut-marut di atas tak akan bisa terselesaikan. Lahirnya atlet-atlet berprestasi, atau mempunyai klub sepakbola yang membanggakan, hanya mimpi belaka.
Mari bayangkan, bagaimana mungkin kita menelorkan atlet-atlet berprestasi berjiwa ksatria, sportif, dan fair-play, jika mereka berada di lingkungan yang sebaliknya. Jika visi ini sudah tertanam dalam semua insan olahraga, baru berikutnya kita bicara mengenai sarana, prasarana, dan aplikasi teknologi.
Di daerah lain, terutama di luar negeri, sudah mematangkan diri dengan pencetakan atlet berbasis sport science. Pembinaan dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Olahraga bukan lagi sekadar hobi dan kegiatan sampingan.
Jika sudah begitu, cita-cita olahraga yang mensejahterakan para insan olahraga dapat terwujud. Tak ada lagi keraguan tentang masa depan para atlet. Tak hanya itu, olahraga bahkan dapat mensejahterakan lingkungan sekitarnya. Olahraga pun dapat menjelma menjadi wisata dan industri.
Ujungnya, olahraga dapat memberikan sumbangsih pada PDRB dan PAD sebuah daerah. Ia bisa menjadi motor pembangunan ekonomi, yang dapat bergandengan tangan dengan wisata, industri, dan dan UKM.
Olahraga tidak hanya menyehatkan badan dan menguatkan jiwa, tapi juga sehat dan kuat secara ekonomi. Syaratnya, ia harus dibangun dengan ruh olahraga itu sendiri: sportif. Jadi adagium di atas perlu ditambahkan, menjadi: “Dengan jiwa sportif melahirkan pikiran dan tubuh yang sehat, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.” Mari sportif, maka bahagia.