Pada medio 1620 Masehi, Cirebon menjadi tempat agenda besar yang dihadiri banyak pujangga, ahli sastra dari wilayah Nusantara hingga mancanegara. Acara tersebut dinamakan Kutrasawala yang digagas Pangeran Wangsakerta, seorang putra Panembahan Girilaya, Sultan Cirebon.
Sebagai wilayah yang berada di pantai utara, Cirebon merupakan destinasi studi dan titik temu seluruh berbagai etnis dan suku. Tak heran, jika kemudian Cirebon memiliki bahasa khas karena menyerap bahasa-bahasa yang ada di Nusantara.
Ketua Dewan Kesenian Cirebon Akbar Sucipto mengungkapkan, kegiatan Kutrasawala tersebut, menyisakah naskah-naskah yang selanjutnya dikoleksi Pangeran Wangsakerta. Menurutnya, seiring waktu, naskah tersebut menjadi embrio awal mula terbentuknya bahasa Cirebon.
“Salah satunya mengenai alfabet yang mulai berbeda di setiap daerah. Semula penulisan bahasa Sunda dan Jawa itu sama. Setelah kegiatan tersebut muncul jenis-jenis tulisan yang berbeda,” ungkap Akbar.
Lahirnya bahasa Cirebon juga dipengaruhi sejarah penyerbuan Mataram ke Batavia (Jakarta). Cirebon, sempat menjadi lokasi pemberhentian pasukan Mataram pada tahun 1628 dan 1629 M.
Fakta cikal bakal akulturasi kebahasaan semakin terlihat. Dalam perjalanan, Sultan Agung Anyokrokusumo, Raja Mataram saat itu menaruh pasukan di wilayah pantai utara termasuk Cirebon sejumlah 500 ribu pasukan.
Ketika pasukan Jawa dari Mataram ini berangkat menyerang Batavia, para pasukan tak sedikit yang menetap di sekitar pantura. Mereka menyebar di wilayah Cirebon, Indramayu, Subang, Tegal dan Brebes sehingga melahirkan proses akulturasi.
“Seiring waktu setelah puluhan tahun menetap lahirlah bahasa baru yang dikenal dengan bahasa Cirebon. Jadi memang berasal dari sejarah panjang,” ujar Akbar.
Asal-usul bahasa Cirebon, kata Akbar, merupakan proses metamorfosis dari perjalanan panjang bahkan beriringan masuknya kerajaan-kerajaan India ke Nusantara pada sekitar tahun 300 hingga 400 Masehi. Seperti Kerajaan Salakanegara, Tarumanegara, Pajajaran dan Majapahit.
Bahasa kerajaan-kerajaan di Nusantara tersebut, menggunakan huruf atau alfabet yang sama. Baik Sunda, Jawa yang memakai aksara hanacaraka atau aksara carakan.
“Saya anggap ini merupakan kekuatan dan kecerdasan bangsa kita khususnya di Nusantara, karena bahasa-bahasa yang datang ke nusantara itu kemudian terjadi akulturasi atau perkawinan dengan bahasa lokal di daerah tersebut. Sehingga kemudian lahirlah bahasa Kawi, Jawi atau Jawa,” jelas Akbar.
Sementara bahasa Cirebon, berasal dari proses dialektika kesastraan yang bertemu dalam lintas zaman hinggu terbentuk bahasa tertentu.
Secara budaya dan bahasa, Cirebon berada di antara masyarakat yang berbahasa Sunda dan Jawa. Wilayah sekitar yang menggunakan bahasa Sunda, yakni Majalengka dan Kuningan. Sedangkan bahasa Jawa yaitu Indramayu dan Brebes.
Menurut Yayat dalam jurnal “Bahasa Daerah di Wilayah Cirebon”, percampuran orang Jawa dan Sunda di wilayah Cirebon melahirkan orang Cirebon.
Keduanya hidup berdampingan dan berkomunikasi menggunakan dua bahasa yang dicampur. Campuran bahasa Sunda dan Jawa di wilayah Cirebon itulah yang selanjutnya menghadirkan bahasa Cirebon.
Meski masyarakat Cirebon secara etnik dapat dibedakan menjadi dua suku: Sunda dan Jawa. Masing-masing suku memiliki budaya dan bahasanya sendiri-sendiri. Suku Sunda kebanyakan mendiami daerah dataran tinggi atau selatan Cirebon.
“Kontak bahasa terjadi karena kedua suku yang mendiami daerah Cirebon memerlukan sarana komunikasi sehingga terwujudlah dua bentuk bahasa yang merupakan fusi dari dua buah bahasa,” tulis Yayat.
Bahasa Cirebon dapat dipandang sebagai dialek dari dua bahasa. Jika yang dominan adalah bahasa Sunda, maka disebut bahasa Sunda dialek Cirebon. Jika yang dominan adalah bahasa Jawa, maka disebut bahasa Jawa dialek Cirebon.
Gabungan dari dua bahasa tersebut tidaklah selalu seimbang bobotnya. Bervariasi tergantung bahasa itu lebih banyak digunakan. Bahasa Sunda Cirebon di daerah selatan, tak sedikit yang memperoleh pengaruh bahasa Jawa. Sedangkan bahasa Cirebon di pusat-pusat pemukiman juga memperoleh pengaruh bahasa Sunda.
Pengaruh dari bahasa lain mencakup berbagai tataran linguistis, seperti fonologi, morfologi, leksikal dan sintaksis.
Keadaan itu lah yang menggambarkan daerah Cirebon muncul dua macam bahasa, yakni bahasa Cirebon yang berbasis bahasa Sunda, dan bahasa Cirebon yang berbasis bahasa Jawa.
Meski demikian, Akbar menerangkan jika kelahiran bahasa Cirebon jenis Bebasan diciptakan sengaja pada masa pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII) di Jawa Barat.
Akbar pun mengutip pendapat Budayawan Cirebon Almarhum Nurdin M Noer, yang menjelaskan salah satu anggota DI TII yang berasal dari Cirebon memakai dialek Cirebon dalam percakapan sehari-hari sebagai kode pembeda komunikasi antara Anggota DI TII dengan masyarakat Cirebon yang tidak tergabung pemberontakan.
Saat itu, seorang tokoh berinisiatif menggunakan bahasa Cirebon Bebasan untuk digunakan masyarakat Cirebon agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Setelah DI TII habis, penggunaan bahasa Bebasan ternyata tetap digunakan oleh masyarakat Cirebon. Sehingga seiring perjalanannya menjadi bahasa mandiri yang berasal dari serapan bahasa para leluhur.
“Jadi memang kalau Bebasan itu bahasa yang diciptakan oleh kita sendiri yang tidak terpengaruh oleh bahasa Jawa atau pun Sunda. Diambil dari bahasa nenek moyang dulu dan diserap. Kalimat dan pengucapannya lebih halus,” jelas Akbar.
Keberadaan bahasa Cirebon sebagai bahasa mandiri, seiring waktu akhirnya diperkuat dengan lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 yang memasukan bahasa Cirebon menjadi bahasa yang diakui di Jawa Barat selain Sunda dan Betawi. *Suf