Fokus 2 edisi Maret 2022

Menilik Wayang Cepak Cirebon - Terancam Punah, Tersisa Dua Dalang

Ilustrasi Menilik Wayang Cepak Cirebon - Terancam Punah, Tersisa Dua Dalang

Etom bergegas menuju kamar gudangnya. Ia mengenakan sarung dan baju polos putih. Sekujur rambutnya terlihat beruban meski tertutup peci. Pria kelahiran Desa Buntet, Kecamatan Astanajapura, tahun ini telah genap berumur 74 tahun.

Para warga sekitar biasa memanggilnya dengan sebutan Dalang Etom atau Ki Etom. Sejak muda, Etom sudah menggeluti dunia pewayangan. Semula Etom hanya menjadi pengiring musik wayang, hingga pada 1970, Etom diminta menjadi dalang.  Memimpin pertunjukan wayang menggantikan dalang utama yang absen.

Etom awalnya tak buru-buru menerima, meski akhirnya ia tak bisa menolak. Karena pertunjukan Wayang Cepak yang menjadi ladang penghasilan satu-satunya harus tetap berjalan. Etom tak menyangka, jika hari itu menjadi takdirnya pula menggeluti dalang hingga kiwari.

“Sewaktu-waktu saja saya mendalang kalau diundang, kalau enggak ya saya paling bertani,” ujar Etom.

Etom pun menunjukan dua peti kayu yang dipenuhi dengan debu dari tumpukan barang lainnya. Ia mengusapnya. Mencoba membersihkannya dengan tangan. Kedua peti kayu itu berisi wayang Golek Cepak yang sudah lama ia simpan di kamar gudang bersama barang milik Etom yang tak terpakai.

“Saya lupa kapan terakhir main wayang. Yang pasti sudah lama. Saya sengaja simpan wayang-wayang ini di sini, karena sekarang jarang digunakan. Peminat wayang sudah sedikit, padahal ini kesenian khas daerah Cirebon,” jelasnya.

Etom menceritakan, salah satu peti kayu yang ia tunjukan adalah milik sahabatnya yang sudah meninggal, almarhum Dalang Ebo dari Desa Gebang. Ia membelinya untuk membantu pemakaman sahabatnya.

“Saat itu saya ditawari oleh keluarga almarhum karena sedang butuh uang untuk biaya pemakaman. Karena saya juga kenal dekat dengan almarhum, jadi saya beli peti yang berisi wayang itu seharga Rp 20 juta,” ungkapnya.

Meski demikian, kala itu sebenarnya Etom juga sempat bingung akan ia apakan satu peti wayang baru yang ia beli selain mengoleksinya. Pasalnya satu peti wayang cepak miliknya saja sudah jarang ia tampilkan dalam pertunjukan. Tapi lagi-lagi, Etom hanya berniat membantu keluarga sejawatnya. Sekalipun akhirnya ia hanya menaruhnya di gudang.

Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Ki Etom hanya memiliki rasa khawatir yang besar jika keberadaan Wayang Cepak akan semakin punah akibat tak ada lagi penerusnya.

“Semenjak muncul kesenian modern seperti Jaipong dan organ tunggal, peminat wayang semakin berkurang. Saya khawatir enggak ada lagi yang mau nerusin kesenian wayang ini. Sekarang di Kabupaten Cirebon saja tersisa 2 dalang yang saya tahu, saya dan Dalang Amo dari Karang Sembung,” ungkapnya.

Dalang Amo yang lebih dahulu menggeluti Wayang Cepak sejak 1968, juga beranggapan serupa. Meski Ki Amo tak memiliki wayang, ia begitu komitmen menjaga keberlangsungan Wayang Cepak yang telah menemaninya selama 50 tahun. Sementara saat ini, ia  menilai jika Wayang Cepak khas Cirebon mulai tenggelam akibat ditelan perkembangan zaman.

Sudah setengah abad saya mendalang. Biasanya kalau ada panggilan buat main, saya sewa wayang milik Ki Etom. Sekarang peminat wayang berkurang apa lagi ditambah adanya pandemi, biasanya sih setiap 1 Muharam masih main di Keraton Kacirebonan. Sekarang dua tahun ini kosong banget,” ungkap Ki Amo.

Ki Amo belajar menjadi dalang sejak ia baru mengenyam pendidian dasar. Ayahnya yang juga seorang dalang sering mempraktikkannya di hadapan Amo. Kakek Amo juga berprofesi serupa.

“Saya dalang dari keturunan. Saya anak pertama dari 5 bersaudara, dan hanya saya yang menjadi dalang. Tapi sekarang justru anak saya enggak ada yang mau mewarisi kesenian wayang ini,” ujarnya.

Saat ini Ki Amo hanya bisa mengenang pengalaman berharganya sewaktu menjadi dalang masih berjaya. Ia selalu diundang bermain Wayang Cepak di berbagai kota.

“Tahun 1981 main di Bandung, tahun 1986 dan 1987 di Jakarta diundang Pak Seoharto. Kalau HUT Kemerdekaan RI juga sering sekali diundang. Sekarang saya sudah tua, tapi jika diminta untuk jadi dalang saya masih siap,” ucapnya.

Diusianya yang sudah tak lagi muda, Ki Amo hanya berharap, agar Pemerintah Kabupaten Cirebon dapat membantu melestarikan kesenian khas cirebon itu. Ia ingin agar wayang golek cepak mulai dikenalkan sejak sekolah hingga perguruan tinggi.

Jika dibandingkan dengan kesenian lainnya, wayang memang sudah sepi peminat termasuk Wayang Cepak. Oleh karenanya, kata Ki Emo, peran pemerintah sangat dibutuhkan guna melestarikan kesenian yang mulai tergerus zaman.

Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Amin Mughni, berpendapat hal ini akibat masyarakat khususnya anak muda di Cirebon sama sekali tidak mengetahui keberadaan Wayang Cepak yang merupakan khas asli cirebon.

“Wayang golek cepak itu kalau tidak salah asal mulanya dari Cirebon bagian timur, berkaitan dengan tokoh Pangeran Sutajaya. Jadi anak muda banyak yang belum tahu. Mereka hanya tahu wayang golek dan wayang kulit,” kata Mughni.

Selain kurangnya sosialisasi mengenai Wayang Cepak, Mughni juga melihat anak muda mengalami kejenuhan saat menonton pementasan wayang yang memakan waktu berjam-jam. Akibatnya wayang tidak dilirik oleh anak muda.

“Anak muda mungkin jenuh karena pagelaran wayang membutuhkan waktu lama untuk sekali pentas. Kita harus bisa menginovasi tanpa mengubah makna pokok dari kesenian wayang agar pemuda berminat untuk mempelajari kebudayaan khas Cirebon itu,” tambah Mughni.

Sementara itu, Kepala Disparbud Kabupaten Cirebon Deni Nurcahya menjelaskan, kurangnya sosialisasi yang belum menyeluruh menjadi penyebab mengapa banyak juga masyarakat Kabupaten Cirebon yang tak mengetahui Wayang Cepak. Meski demikian, ada beberapa wilayah yang sudah aktif merespon kesenian wayang.

“Di daerah Gegesik kesenian wayang masih digandrungi oleh masyarakat sekitar, bahkan ada sanggarnya juga. Memang untuk wayang cepak masih sedikit, mereka berpikir wayang golek dan wayang cepak itu sama padahal ada beberapa yang membedakan,” jelasnya.

Pegiat budaya Cirebon Raden Chaidir Susilaningrat membeberkan alasan wayang semakin langka dan tak digandrungi karena memiliki unsur hiburan yang sedikit. Sementara selera masyarakat selalu mencari yang lebih bisa menghibur.

“Masyarakat lebih suka wayang golek sunda dan wayang kulit, yang lebih banyak menghibur dan atraktif. Wayang golek cepak lebih mendekati pengajian, karena memberikan tuntunan agama dan tuntunan moral,” bebernya.

Meski demikian, Chaidir berpendapat pemerintah wajib melestarikan karena merupakan bagian dari kearifan lokal. Menurutnya, Pemerintah harus memfasilitasi pelatihan dalang-dalang muda  agar perkembangan generasi Wayang Cepak dapat terkontrol.

“Selain itu juga harus memberikan sentuhan kreatif yang lebih modern untuk Wayang Cepak. Cara mengenalkannya bisa dibumbui dan dikolaborasikan dengan musik yang modern,” pungkasnya. *Par




Pencarian
Edisi Terbaru 2024
Agustus 2024
Cover edisi Agustus 2024
Juli 2024
Cover edisi Juli 2024
Juni 2024
Cover edisi Juni 2024