Cirebon merupakan wilayah yang bakir akan budaya. Salah satu produk kebudayaan tersebut, terlihat dari keberadaan kesenian khas bernama Wayang Cepak.
Wayang Cepak masih satu spesies dengan wayang golek. Perbedaannya Wayang Cepak mengutamakan cerita para menak atau bangsawan di negeri Arab hingga berkembang ke nusantara dalam menyebarkan agama Islam. Di luar itu, juga menceritakan perjalanan para wali dan asal-usul sebuah daerah (babad) Cirebon.
Selain itu, mahkota kepala Wayang Cepak juga memiliki perbedaan mencolok karena berbentuk pak-pak yang menggambarkan bagian belakang kepala rata. Berbeda dengan kepala pada penokohan Wayang Golek Purwa yang runcing dan sedikit melengkung.
Nama pak-pak atau cepak berasal dari bahasa Jawa bermakna pendek mengenai rambut. Kesenian yang satu ini lebih banyak dikenal di wilayah Cirebon bagian timur, namun tak dipungkiri jika sebagian wilayah sekitar Cirebon juga mengenalnya seperti Wayang Cepak Indramayu.
Menurut Ki Tanggal Gunawijaya, salah seorang dalang Wayang Cepak dalam skripsi Kanti Walujo tahun 2017 mengungkapkan, asal-usul Wayang Cepak bermula dari zaman Pemerintahan Gunung Jati sekitar 1475 hinga 1568 M. Pangeran Sutajaya, seorang penguasa wilayah timur Cirebon saat itu memberikan seperangkat wayang cepak kepada Ki Prengut untuk menjadi sarana penyebaran agama Islam.
Seiring berakhirnya masa pemerintahan Gunung Jati, Wayang Cepak tetap menjadi tradisi yang terus-menerus dipertahankan oleh masyarakat Kabupaten Cirebon.
Dalam setiap pementasan wayang cepak menggunakan bahasa Cirebon sebagai pengantar dan pembuka kisah. Para nayaga atau tim untuk mengiringi pementasan terdiri dari para pemusik dan sinden. Sementara susunan penampilan wayang cepak biasanya diawali dengan tatalu dilanjut babak unjal atau paseban.
Semula pertunjukan wayang cepak juga hanya dapat ditemukan pada upacara adat di Cirebon seperti Ngunjung Buyut, Nadran (sedekah laut), haul maupun ruwatan. Seiring waktu, pertunjukan Wayang Cepak selain sarana dakwah juga dimanfaatkan untuk hiburan dan perayaan.
Namun demikian, saat ini aset kebudayaan Cirebon itu tengah di ujung kepunahan. Para penggiat kelestarian wayang cepak telah terhitung jari. Di wilayah timur Kabupaten Cirebon sebagai tempat kelahirannya hanya tersisa 2 dalang yang telah berumur yakni, Dalang Amo dari Desa Karangtengah, Kecamatan Karangsembung dan Dalang Etom dari Desa Buntet, Kecamatan Astanajapura.
“Memang hanya tersisa saya sama Dalang Amo yang masih menggiati wayang cepak cirebon. Dulu ada di Desa Sumber, Kecamatan Babakan tapi sudah wafat. Saya belum tahu kalau ada dalang lagi selain kami,” ungkap Dalang Etom.
Selain terbatasnya dalang, sanggar sebagai sarana perawatan kesenian Wayang Cepak pun sulit ditemukan. Pementasan dalam perayaan tak lagi menampilkan Wayang Cepak. Tak hanya itu, sebagian wilayah di Kabupaten Cirebon bahkan tak mengetahui nama Wayang Cepak.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cirebon pun tak banyak menyampaikan informasi. Kepala Disparbud Kabupaten Cirebon Deni Nurcahya hanya mengakui, jika sangat sedikit masyarakat yang mengetahui kesenian Wayang Cepak. Pasalnya masih banyak yang tidak dapat membedakan bentuk Wayang Golek Purwa dengan Wayang Golek Cepak. Selain itu, kemajuan teknologi informasi juga menjadi penyebab Wayang Cepak ditinggalkan peminatnya.
“Masyarakat menganggap wayang golek purwa dan wayang golek cepak itu sama, padahal beda. Selain itu, wayang sekarang jarang ada yang manggil buat tampil. Jadi generasi muda jarang yang tahu. Ada juga yang mau belajar tapi sekadar penasaran dan tidak berniat mendalami,” pungkas Deni. *Par