Kopi Pagi edisi Februari 2022

Laron, Apa Lebah?

Seruputan pertama kopi pagi membasahi tenggorokan. Obrolan pun mengalir. Ringan. Meski kadang-kadang berat juga. Tiba-tiba seorang sahabat bertanya: ”Kang nggak nulis soal laron lagi?”

 

Aha…rupanya sang kawan masih ingat tulisan saya beberapa bulan lalu mengenai laron. “Nggak,” jawabku singkat. Ekspresi wajahnya menyiratkan ketidakpuasan atas jawabanku. “Sekarang lagi suka lebah,” jelasku, sedikit mengurangi kepenasarannya.

 

Ia pun langsung mengejar jawabanku, dengan berseloroh: “Ini pasti karena…” Belum selesai ia melengkapi kalimat itu, langsung saya potong: “Karena banyak orang mengaku berfilosofi lebah namun kelakuannya seperti laron,” sergahku.

 

Ingat, ketika di petang hari laron keluar dari sarangnya, kemudian menuju sumber cahaya, itulah saatnya laron unjuk kekuatan. Demi meraih cinta sang ratu dia rela membiarkan ribuan saudara sekandungnya mati bergelimpangan.

 

Demi membuat sebuah kerajaan (koloni) baru, ia mencabik-cabik persaudaraan sekandung. Ia khianati persatuan dan kesatuan bangsa koloninya, hanya demi sang betina dan takhta barunya.

 

Bandingkan dengan lebah. Setelah satu tahun, sesuai daur hidupnya, lebah ratu akan melahirkan beberapa generasi baru ratu. Ratu yang paling cakaplah yang akan melangsungkan memimpin koloni lamanya, sedangkan ratu-ratu lainnya akan membuat koloni baru dengan membawa beberapa lebah pekerja.

 

Sama dengan laron, dalam koloni lebah juga ada kompetisi. Bedanya, di koloni laron terjadi kompetisi saling membunuh. Sedangkan di koloni lebah terjadi kompetisi yang sehat, hidup bersama, membahu dan berlomba dalam kebaikan, memberikan manfaat bagi tumbuhan dan manusia.

 

Di hutan, dalam satu pohon yang rimbun dan hijau, masing-masing koloni hidup damai dalam beberapa cabang. Menggelantung membentuk harmoni. Mereka teratur dalam satu cabang, maupun dalam satu pohon. Jika ada yang mengusik salah satu cabang, lebah satu pohon itu bisa menyerang sang pengganggu.

 

Ada pelajaran yang menarik dari laron dan lebah ini. Dalam ber-organisai, ber-lembaga, atau ber-negara, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang merajut harmoni, memaksimalkan potensi, dan melahirkan generasi-generasi unggul.

 

Lihatlah lebah, ia mencari sesuatu yang kecil, berupa nektar dan tepung sari, namun tanpa merusak bunga. Bahkan menguntungkan bagi pohon, karena membantu proses pembuahan.

 

Setelah itu lebah memproduksi dan menyimpan madu, makanan unggul (superfood) yang bersih, sehat dan lezat bagi manusia. Artinya dari potensi yang begitu kecil ia ubah menjadi sesuatu yang luar biasa besar manfaatnya. Itulah pemimpin sejati.

 

Sebaliknya, jika pemimpin itu rela mencabik-cabik persatuan dan membunuh saudaranya sendiri demi kekuasaan (seperti laron), maka (biasanya) koloninya pun tidak akan lama bertahan. Dalam konteks inilah, lebah lebih baik daripada laron.

 

“Terus Kang Luthfi pengen jadi lebah gitu?” Ujar sang kawan, tiba-tiba nyletuk. “Kalau saya, ya jadi manusia saja, yang meniru sifat baik laron dan lebah,” jawabku singkat.

 

“Lantas bagaimana Kang, kalau ada yang berbaju lebah namun aslinya laron?” Sang kawan menimpali. “Mana ada lebah begitu, itu sih namanya lebah kardus, alias wedhus gondrong, yang hanya ada dalam komik.”

 

“Eit…. Jangan salah, ada kok manusia yang sukanya merusak sistem, menghancurkan persatuan, dan membunuh potensi, hanya demi kekuasaan dirinya semata,” jelasnya gak mau kalah. “Hemm…, iya juga sih, tapi itu kan manusia, bukan lebah.” Seruput dulu bro….

 

 

Pencarian
Edisi Terbaru 2024
Agustus 2024
Cover edisi Agustus 2024
Juli 2024
Cover edisi Juli 2024
Juni 2024
Cover edisi Juni 2024