CIkres saat ini menjadi satu ikon cemilan yang dimiliki oleh Cirebon, selain memiliki varian rasa yang unik juga dari struktur bahan tidak terlalu keras ketika dimakan. Namun jika ditilik lebih jauh, perjalanan Cikres dalam membangun usahanya memiliki cerita yang dapat menginspirasi bagi para pemula yang ingin bergelut dibidang usaha.
Perjalanan itu dimulai ketika pada awal tahun 2016, seorang lelaki bernama Eka Mulyadi asal Pontianak, Kalimantan untuk merantau ke Cirebon untuk mengadu nasib. Ia sendiri, tak memiliki kerabat atau keluarga di Cirebon. Namun hanya memiliki tekad kuat untuk merubah kondisi.
Tak memiliki skill juga modal yang cukup, akhirnya ia memutuskan untuk memberanikan diri untuk beradaptasi dengan menjalin relasi pertemanan dengan semua para pelaku usaha. Ia melakukan riset dengan mencari problem apa saja yang dihadapi oleh pelaku usaha, karena baginya, memanfaatkan problem yang ada itu menjadi satu peluang buat dirinya.
“Modal saya saat itu hanya berani untuk silaturahim dengan yang lain, saya juga sangat berterimakasih kepada Cirebon yang telah merubah mindset saya. Akhirnya saya ketemu beberapa pelaku usaha juga main ke dinas-dinas,” kenangnya.
Di tahun 2016 hingga 2017 ia mencoba melakukan menciptakan identitas produk sendiri, saat itu mencoba membuat Keripik Gandaria Ubi Ungu. Ia menyadari saat itu memang masih meraba, meriset guna menciptakan satu identitas produk, hanya itu belum sampai ke pemasaran. Namun senada dengan itu, ia selalu ditemui kegagalan.
“Ya di tahun itu saya sibuk mencari identitas produk, mencari karakternya seperti apa juga seperti apa kebutuhan konsumen. Saya buat dengan merk Ani Jaya, Bos Eka hingga Chip Snack. Tapi sama sekali tidak ada peningkatan,” tuturnya.
Akhirnya di tahun 2018, ia selalu mendapat keluhan dari masyarakat dalam cemilan singkong. Entah secara rasa atau pun struktur bahannya agak keras ketika dimakan. Dari situ ia mulai bersitungkin untuk meriset segala singkong juga membuat kemasan singkong yang beda dari pasaran.
Saat itu Eka memiliki mindset kalau produknya harus bisa mencapai target dengan market leadernya itu ritel modern. Namun siapa sangka, saat itu yang pertama kali melirik produknya justru dari Transmart. Langkah itu pun sempat terhalang oleh problem legalitas.
“Saya menyadari memang ketika kita riset atau ciptakan produk namun mengesampingkan legalitas, seperti Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT), halal, terus HKI memiliki dampak yang besar. Saya juga baca adendumnya, pinaltinya bisa mencapai Rp 100-500 juta,” jelasnya.
Karena persoalan tersebut, ia sempat menerima somasi. Dampaknya para konsumen atau dari Transmart memutuskan untuk jangan dilanjutkan dengan menggunakan brand itu, karena sudah dimiliki yang lain.
Setelah memutar otak, akhirnya Eka memutuskan produknya dari yang Chip Snack menjadi Cirebon Kreatif Snack (Cikres). Dari situ nama Cikres mulai dikenalkan, dengan maksud agar dapat menjadi satu produk ikon Cirebon.
“Nama Cikres dipakai agar kita dapat mewakili dari kebiasaan kita menulis di produk dengan oleh-oleh khas Cirebon. Akhirnya setelah itu diterima,” jelasnya.
Awal dibulan pertama saat merintis Cikres, Eka langsung memproduksi 8000 pcs, modalnya pun cukup lumayan besar. Karena ia berpendapat, kalau ingin menggeluti satu produk terutama di bidang indusrti itu modal awal harus empat kali lipat.
“Di awal kita perkuat dulu di modal produksi, pasar juga manjemen. Terus memang saat itu, kita langsung ekspansi ke ritel modern. Kita mapping area di wilayah 3 ada berapa outlet, saat itu sasarannya baru indomart dan kita langsung mendata ada sekira 750 outlet yang telah kita catat, peroutletnya kita taruh 10 pcs jadi total semua ada sekira 7500 pcs yang disebar,” ungkapnya.
Cikres memang dalam hal produksi tidak full menggunakan man power, sudah memakai mesin dalam pengolahannya. Karena perhitungannya soal waktu, karena sekali produksi 500 pcs itu hanya memakan waktu dua jam.
“Kalau di Cikres memang tidak menggunakan alat tradisional atau manual, kita memiliki karyawan cuma dua. Itu pun untuk packaging saja. Selebihnya menggunakan mesin,” terangnya.
Bahannya pun ia kerjasama dengan para petani yang memiliki lahan di Desa Tenjolayar dan Kubang, karena dari struktur tanah sangat mempengaruhi kualitas singkong. Usia singkongnya pun harus berada di 7 sampai 9 bulan.
“Ya misal kita panen singkong sehari 200 kg, nah ketika diolah kita hanya dapat 60 kg. Karena kulit juga pojokan singkong kita kupas, juga kita peras kadar airnya, jadi yang 200 kg itu yang 120 persennya air kita hanya mendapat 60 kg. Kita campur dengan bumbu 8 kg, bersihnya hanya 68 kg. dari 68 kg itu dibagi 100 gram, jadi dalam 200 kg kita terkadang menghasilkan 600 hingga 700 pcs Cikres,” jelasnya.
Kemasannya pun beragam, juga harganya tak perlu merogoh kocek yang begitu besar. Cikres dengan ukuran 100 gram dihargai Rp 15 ribu, sementara yang 60 gram dihargai Rp 10.500. Cikres juga memiliki varian rasa yang unik seperti Keju Seas, Balado dan Ayam Lada Hitam. Dan yang terpenting, produk Cikres ini bisa bertahan selama setahun, karena sudah di uji Laboraturium.
Sekarang Cikres dapat dijumpai di ritel indomart, Al Bahjah Mart juga toko oleh-oleh di Cirebon. Eka kini sudah berhasil dalam mengenalkan produk Cikres kepada khalayak, maka tak perlu aneh, kini omzet Cikres dalam sebulan sudah mencapai Rp 50 hingga 100 juta.
Selain itu, Eka berharap di masa pandemi ini tak dipungkiri kalau para pelaku usaha sedang mengalami kemerosotan. Belum lagi rantai pasokan seperti bahan naik pesat, dan ini merupakan menjadi satu dilematis bagi para pelaku usaha untuk membangun ekonomi kreatifnya.
“Saya berharap para pemangku kebijakan terutama Dinas Koperasi dapat meninjau para pelaku usaha, kebutuhannya seperti apa dan mau membantu untuk memasarkan produk para pelaku usaha.” pungkasnya.