Tepat saat terik matahari terasa menyengat di Desa Gebang Mekar, puluhan perahu tengah melaju ke arah daratan. Sebagian deretan perahu kecil berkisar 3 Gross Tonage (GT) juga telah bersandar di sepanjang hilir sungai bibir Pantai Baro. Waktu siang, sebelum menjelang asar adalah waktu para nelayan Gebang Mekar pulang melaut.
Darsono, pria lansia sedang duduk di perahu dengan tatapan nanar. Ia memang tengah berisitirahat setelah sejak pagi buta berangkat miyang (mencari ikan). Sudah puluhan tahun Darsono bergulat menjadi nelayan. “Iya ini satu-satunya pekerjaan yang saya geluti sejak muda,” ucapnya lirih.
Berbekal alat tangkap dan modal seadanya, setiap hari, Darsono melajukan perahu miliknya berukuran kurang dari 5 GT untuk berangkat miyang dari pukul 3 pagi hingga 14.00 siang.
“Di sana hanya 6 jam karena alat yang saya punya hanya jaring. Jadi kadang 3 kali tarikan terus pulang. Dengan modal Rp 1 juta, beli solar 100 liter. Ya jika dihitung Rp 6000 x 100 liter itu saja sudah Rp 600 ribu, sisanya buat bekal makanan,” terangnya.
Bagi Darsono dan para nelayan lainnya, kondisi cuaca sangat berpengaruh pada hasil tangkapan. Bulan ini sudah masuk musim ketiga. Di mana kondisi ombak dan angin laut sedang tak menentu. Akibatnya, Darsono mengaku jika hasil tangkapannya tak sebanyak modal yang dikeluarkan.
“Musim ketiga ini lagi susah cari ikan mas. Kadang kalau berangkat bawa modal Rp 500 ribu hanya dapat keuntungan Rp 200 ribu. Enggak balik modal, selama enam jam di sana hanya boros di solar. Menunggu ikan sejam saja bisa menghabiskan 10 L solar. Bahkan terkadang pulang hanya dapat 1 sampai 5 kg saja,” keluh Darsono, saat ditemui reporter Cirebon Katon.
Sekali berlayar, Darsono bisa mendapatkan beragam jenis hasil laut. Mulai dari cumi cumi, blekutak, pirik, klapan, pari, trisi, bloso, kembung, teri, baramudi hingga tongkol. Selanjutnya, Darsono akan menjualnya melalui bakul di sekitar rumahnya. Ia tak melelangnya melalui Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang telah berdiri di Gebang Mekar.
Alasannya, kata Darsono, kondisi TPI yang tak jauh dari rumahnya saat ini sudah tak beroperasi. Maka tak ada pilihan lain selain menjualnya ke tengkulak. Yang Darsono pikirkan saat pulang ke rumah, ia harus membawa uang untuk keluarga.
“Kalau sudah selesai miyang ya saya langsung jual ke bakul. TPI di sini sudah tidak jalan lagi karena para nelayan dimodali oleh bakul. Jadi kalau untuk ngejual ya langsung ke bakul. Saya sih tidak pernah minjam ke bakul, cuman karena TPI engga jalan, ya saya jual ke bakul saja,” jelas pria 50 tahun itu.
Alasan Darsono masuk akal. Tak ada pilihan selain mengikuti keadaan untuk membiasakan diri menjual hasil tangkapannya ke para bakul.
Padahal Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan TPI Bab 2 Pasal 1 mewajibkan hasil tangkapan laut dijual melalui TPI yang telah dibentuk berdasarkan rekomendasi bupati. Namun fakta di lapangan belum semuanya dapat diterapkan.
Pasalnya, dari jumlah total 7 TPI yang dimiliki Kabupaten Cirebon saja, hanya 3 TPI yang konsisten memberikan retribusi. Itu pun dengan nilai yang mini. Sebagian lagi statusnya mangkrak atau sewaktu-waktu saja beroperasi. Salah satunya TPI Gebang Mekar.
Rasnadi, anggota pengelola TPI Gebang Mekar mengatakan, mangkraknya TPI Gebang Mekar disebabkan karena para nelayan tak ada yang mau melelang di TPI. Pasalnya nelayan terjerat hutang modal dengan para bakul. Sehingga hasil tangkapannya pun dijual ke para bakul.
“TPI Gebang Mekar sudah vakum sejak setahun yang lalu karena persaingan kita (pengelola TPI) dengan bakul. Apalagi bakul kalau ngasih modal ke nelayan tak tanggung-tanggung. Ada yang sampai Rp 30 juta. Jadi hasil tangkapan nelayan mau tidak mau langsung dijualnya ke mereka,” ungkap Rasnadi.
Akibatnya, para pengelola TPI Gebang Mekar memilih vakum dari TPI. Apalagi Rasnadi juga mengetahui, jika modal menjadi persoalan utama bagi para nelayan. Sementara di sisi lain, Koperasi Unit Desa (KUD) yang menaungi TPI juga tak memiliki kas untuk meminjamkan modal lantaran minimnya pemasukan.
Rasnadi hanya berharap, Pemkab Cirebon dapat memberi solusi agar TPI Gebang Mekar dapat beroperasi kembali dan bisa memberikan retribusi bagi daerah. Ia menilai Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Cirebon belum berbuat banyak.
“Belum ada respon apa-apa. Cuma menurut saya, kalau ingin menghidupkan TPI lagi, KUD harus merekrut nelayan dan memberinya modal bantuan perahu untuk para nelayan. Paling tidak, dikasih pinjaman saja, agar mereka lepas dari bakul dan tidak terjerat hutang,” terangnya.
Di tempat lain, TPI Jaka Bhakti Bungko Lor, Kecamatan Kapetakan, juga merasakan hal serupa. Ketua TPI Jaka Bhakti, Tasman mengatakan dari 200 perahu ukuran di bawah 5 GT, sebagian besar adalah milik para bakul. Dengan kata lain, sebagian besar nelayan Bungko Lor adalah nelayan buruh.
“Meski perahu di sini banyak, tapi hanya 3 persen yang milik pribadi nelayan. Nelayan yang tidak mempunyai perahu hanya menjadi buruh, atau paling tidak mereka hutang kepada bakul,” kata Tasman.
Ia pun berharap, pemerintah daerah dapat merespon persolan tersebut dengan memberikan pinjaman bagi para nelayan agar keluar dari jeratan hutang maupun untuk pengembangan TPI Jaka Bhakti.
“Selama ini hanya ada 20 nelayan yang masih menjual melalui TPI. Saya berharap dinas itu bisa ngasih pinjaman seperti KUR. Sekali lagi ini bukan meminta, tapi lebih kepada menyediakan dana pinjaman,” harapnya.
Meski begitu, Tasman bersyukur karena saat ini TPI Jaka Bhakti sudah mulai mendapat keuntungan dan bisa memberikan retribusi untuk daerah. “Alhamdulillah Juli lalu kami retribusi untuk daerah Rp 1 juta dan bulan kemarin Rp 500 ribu,” ujarnya.
Persoalan mangkraknya TPI sebenarnya telah lama disadari Kepala Seksi TPI DKP Kabupaten Cirebon Nia. Ia pun mengamini banyak nelayan terjerat hutang ke bakul yang berakibat TPI menjadi tak terfungsikan. Sementara ini, kata Nia, yang memilih menjual melalui TPI adalah nelayan yang tidak terikat bakul.
“Padahal kalau dari sisi harga, di TPI lebih transparan dan lebih tinggi ketimbang melalui bakul,” jelasnya.
Untuk itu, Nia mengingatkan, agar nelayan tak harus mengandalkan bakul kembali, para nelayan diharapkan membentuk kelompok dan koperasi.
“Paling minimal, nelayan itu punya koperasi meski skalanya kecil karena itu cara agar mendapatkan bantuan pemerintah. Maupun untuk cadangan kalau alat tangkap rusak maupun ketika sakit. Mereka bisa menggunakan uang dari kelompok itu,” tuturnya.
Karena itu, Nia berharap Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Cirebon dapat mendorong para nelayan membentuk koperasi maupun melatih manajemen pengelolaan TPI yang belum sehat.
“Walaupun TPI ada beberapa yang sudah berjalan, bukan berarti manajemen koperasinya sudah sehat. Dinas Koperasi harus mau turun tangan membenahi juga. Meski secara teknis wewenang kami,” ujarnya.
Menanggapi itu, Kepala Bidang Koperasi Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Cirebon Edwin mengaku telah terlibat melatih pengelolaan KUD di Bungko Lor agar tak mengandalkan para tengkulak.
“Kita sedang berusaha merekrut anggota untuk membangun koperasi. Sekarang lagi dicoba, cuma memang ada kendala di permodalan,” ungkapnya.
Edwin juga sedang menerapkan kerjasama antar koperasi, agar saling membantu permodalan bagi TPI. Selain itu, ia juga telah bersosialisasi langsung, untuk merubah pola pikir nelayan agar tak terjerat tengkulak.
Selanjutnya, untuk menindak para bakul, Nia mengatakan telah menggandeng Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) agar mengawasi para bakul yang tak taat aturan.
“Saya sudah minta Satpol PP untuk menindak, hanya mungkin mereka sedang banyak fokus garapan lain. Kalau dulu ada polisi dari perikanan sekarang enggak ada. Makanya kita minta bantuan Satpol PP,” kata Nia.
Namun Kepala Seksi Kerjasama Satpol PP Kabupaten Cirebon, Sa’di membantah jika telah menerima informasi dan laporan dari DKP untuk menindak para tengkulak di TPI.
“Sejauh ini karena saya baru, belum ada informasi atau laporan. Kalaupun ada, mungkin itu pengurus lama,” kilahnya.
Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Cirebon Cakra Suseno juga berpendapat, jika selama ini DKP hanya menggaungkan para nelayan untuk berkelompok. Padahal nelayan yang sebenarnya itu tidak memiliki waktu untuk mengatur itu.
“Aktivitas nelayan yang asli ya berangkat pagi, pulang siang, setelah itu memberesi perahu. Sementara jika sasarannya adalah kelompok, kelompok nelayan di lapangan itu didominasi oleh para bakul,” jelasnya.
Sementara mengenai penertiban bakul melalui Satpol PP, Cakra menilai itu tak memiliki dasar hukum. Pasalnya bakul itu sama seperti pedagang lainnya. Apalagi persoalannya, nelayan juga merasa dibantu oleh para bakul. Sehingga jika para bakul itu ditindak justru sama saja membunuh para nelayan.
Seharusnya jika benar Pemda memang lagi konsen untuk mendongkrak PAD melalui sektor perikanan, kata Cakra, maka harus serius memberikan bantuan secara fisik seperti pemberian perahu dan alat tangkap dengan syarat hasil tangkapannya dijual melalui TPI. “Itu juga salah satu strategi agar bisa menghidupkan TPI lagi,” tegasnya.
Namun sebelum itu, Cakra juga menambahkan pentingnya pembenahan data nelayan. Pasalnya selama ini data nelayan yang tercatat oleh DKP bukan data murni.
“Dari total 17.965 orang, berapa yang memang benar-benar nelayan? Karena kondisi di lapangan yang punya perahu, alat tangkap dan modal itu hanya para bakul, sementara nelayan yang asli itu hanya buruh saja,” tandasnya. *Lan