Bicara Cirebon, tak lepas dari kisah masa lalu seorang tokoh yang mampu membawa Cirebon menjadi satu negara tersendiri.
Ialah Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang membawa kelahiran Cirebon sebagai sebuah nagari (negara) merdeka dari Kerajaan Pajajaran dan menandakan peradaban baru di Nusantara. Pusat jalur perdagangan pelabuhan Muara Jati adalah jantung keluar masuknya ragam etnis, suku dan agama sehingga tercipatanya akulturasi budaya.
Tak ayal, seiring perjalanannya, Cirebon menjadi satu suku tersendiri. Bukan Jawa, bukan pula Sunda. Namun Suku Cirebon. Maka ragam kebudayaan dan kultur masyarakat Cirebon pun tercipta.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya atau kulture dapat diartikan pikiran, akal budi, hasil. Sedangkan membudayakan, berarti mengajarkan supaya mempunyai budaya, mendidik supaya berbudaya, membiasakan sesuatu yang baik sehingga berbudaya.
Sementara menurut bahasa Sansekerta kata kebudayaan berasal dari kata ‘budha’ yang berarti akal, kemudian menjadi kata budhi atau bhudaya. Sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Pendapat lain mengatakan bahwa budaya berasal dari kata budi dan daya.
Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya adalah perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani. Sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar
Budaya Cirebon memiliki karakter yang khas dan sangat berbeda dengan budaya Sunda. Ini bisa dilihat dari jenis kesenian, watak masyarakat, makanan maupun bahasa sebagai keunikan paling pokok. Akulturasi menciptakan kekayaan dalam khazanah kebudayaan Cirebon. Di sinilah identitas budaya tercipta dan perlu dikembangkan.
Sampai saat ini, bukti peninggalan peradaban di Cirebon sangatlah banyak. Contohnya, masih ada keraton yang hidup dan berkembang seperti Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan.
Selain itu, ada ragam tradisi seperti, mudun lemah, sedekah bumi, nadran, ngapem dan ngunjung buyut. Hebatnya sebagian budaya tersebut, telah berekspansi di seluruh wilayah sekitarnya, terutama Ciayumajakuning.
Hal itu menandakan bahwa kultur atau budaya Cirebon telah berpengaruh dan menjadi value tersendiri. Maka bicara pelestarian budaya, adalah upaya merawat, meruwat nilai yang terkandung dari seluruh peninggalan kebudayaan Cirebon.
Nilai budaya yang dipertahankan merupakan jati diri bangsa atau jati diri Cirebon. Maka penulis menilai, budaya semestinya juga memiliki efek domino bagi kemajuan sektor lain: kesehatan, pariwisata, ekonomi, pendidikan.
Sudah banyak pengamat yang melihat, bila potensi daerah Cirebon adalah wisata berbasis budaya. Artinya budaya yang telah berlangsung lama sangat dinikmati oleh banyak orang dan sangat mungkin terkonversi menjadi wisata.
Misalnya wisatawan yang ingin melihat bangunan kuno, maka akan memilih pergi ke keraton, Gua Sunyaragi; wisatawan peminat seni maka akan tertarik melihat tari topeng, wayang cepak, brai; wisatawan religi maka akan tertarik mengunjungi situs-situs; wisatawan pelancong maka tertarik di pariwisata.
Hal itu tentu perlu integrasi daerah sekitar Cirebon agar keberadaan potensi Cirebon baik kota dan kabupaten memiliki nilai jual yang muaranya adalah peningkatan ekonomi. Maka ketika budaya itu dikembangkan dan dilestarikan, efek yang dicari adalah efek peningkatan ekonomi masyarakat.
Bila itu dapat terwujud, maka potensi budaya yang besar akan berdampak pada seluruh sektor: UMKM batik, makanan khas Cirebon, situs-situs, oleh-oleh, wisata bahkan para pedagang kaki lima pun akan merasakan dampaknya.
Penulis menilai, implementasi pelestarian budaya Cirebon, dirasa belum optimal. Padahal hal itu sudah terkandung dalam visi-misi Bupati Cirebon.
Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cirebon perlu berinovasi membuat integrasi budaya tersebut. Sejauh ini kehadiran budaya baru dianggap sebagai pelengkap event atau kegiatan tertentu yang belum terasa secara menyeluruh.
Pemajuan budaya harus menjadi target prioritas untuk melahirkan efek domino oleh seluruh elemen: pemerintah, masyarakat, buruh, pelaku ekonomi, akademisi dan para pegiat budaya. Semua harus mengambil peran agar keberadaan budaya Cirebon tidak hanya sebatas simbol atas glorifikasi sejarah.
Namun harus mampu menciptakan iklim kemajuan daerah. Bagaimana mengaturnya, menatanya menjadi suguhan menarik bagi para pecinta (wisatawan).
Penulis melihat, di beragam kecamatan di Kabupaten Cirebon terdapat satu keunikan khusus. Misalnya, para perajin gerabah, pegiat seni tari topeng, pembuat wayang, burok. Itu merupakan deretan budaya-budaya Cirebon.
Potensi kesenian, situs relig, adat istiadat, batik hingga kuliner merupakan magnet yang seharusnya dirasakan sebagai satu ekosistem wisata. Terlebih, Cirebon tak pernah sepi dari pelancong mancanegara.
Bila Pemerintah Kabupaten Cirebon tak segera membuat formula khusus maka jangan salahkan bila orang luar yang akan mengambil perannya. Dan salah satu upayanya, perlunya payung hukum turunan dari Undang-Undang tentang Pemajuan Kebudayaan. Agar efek domino dari budaya Cirebon benar-benar terasa.