Dari total 66 wisata yang masuk kategori Daya Tarik Wisata Kabupaten (DTWK), hanya 13 yang dinilai masih aktif dikunjungi wisatawan. Selebihnya diakui layuh dan stagnan. Salah satu wisata yang sempat moncer dan saat ini mulai sepi adalah Mangrove Mundupesisir.
Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Desa Mundupesisir Nursin menyampaikan, bila ekowisata magrove mengalami kelesuan pasca pandemi. Padahal di tahun awal berdiri, wisata ini sempat menjadi favorit bagi para wisatawan lokal. Mangrove Mundupesisir dibuka secara resmi 2018 silam.
Di tahun tersebut, pengelola berhasil meraup keuntungan Rp 3 juta dalam sehari, dengan jumlah pengunjung tak kurang dari 1.500 orang. Namun berbeda jauh dengan kondisi saat ini yang mulai ditinggal wisatawan. “Kalau sekarang, sehari ada 10 pengunjung saja sudah syukur,” ungkap Nursin.
Tak hanya minimnya pengunjung, para pengelola ekowisata, satu persatu menyatakan mundur karena terhimpit ekonomi. Pasalnya, upah dari wisata mangrove belum mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Nursin mengakui, di antara penyebabnya karena minimnya inovasi dan pengembangan sarana prasarana wisata. Beberapa fasilitas yang ada, diakui tak terawat dan rusak. Misalnya rute jalan masuk kawasan yang penuh berlubang, perpustakaan dan buku rusak yang dimakan rayap, hingga sampah yang terlihat berserakan.
“Tapi itu terjadi karena memang kita minim anggaran untuk pengembangan. Itu yang kita butuhkan perlunya support Pemkab Cirebon,” ujar Nursin.
Anggota DPRD Kabupaten Cirebon Hanifah menilai, agar pariwisata Cirebon tak layuh sebelum berkembang, diperlukan pembinaan dan pelatihan manajemen wisata. Pengetahuan tentang pariwisata sangat penting, agar destinasi wisata lebih berkualitas dan dapat berinovasi. Sehingga wisata tersebut tidak kehilangan pengunjung.
“Pengelola wisata jangan berhenti berinovasi, misalkan sebagai daya tarik buat event wisata yang mengangkat keunikan dan kekhasan cirebon,” ujarnya.
Sejauh ini, politisi PKB itu berpendapat, belum semua pengelola wisata memahami cara mengelola wisata. Pentingnya pengetahuan industri wisata agar setiap tindakan pengelola dapat terukur. Pengelola haru memiliki desain fasilitas dan sarana prasarana yang menarik, agar wisatawan mau berlama-lama dan akhirnya mau kembali berkunjung.
“Biasanya wisata akan sepi kalau tidak nyaman, misalkan kantinnya kotor, tidak ada toko souvenir, dan sarana lain tidak ada. Karena kenyamanan itu penting,” ungkap Hanifah.
Selain itu, indikator keberhasilan wisata, dilihat dari kondisi infrastruktur akses jalan. “Wisatawan baik lokal, nasional bahkan internasional enggan berkunjung ke tempat wisata kalau akses menuju tempat wisata tersebut buruk dan rusak,” jelasnya.
Jika akses jalan sudah bagus, manajemen sudah jelas, dan fasilitas memadai, terakhir adalah upaya promosi secara intensif.
Promosi wisata, menjadi tolok ukur sejauh mana wisata dapat berkreasi mencari simpati publik. Di zaman digital ini, seharusnya, kata Hanifah, pengelola wisata wajib memiliki media untuk mempublikasikan dan mempromosikan wisata.
Hanifah menegaskan, pentingnya peran Disbudpar Kabupaten Cirebon untuk membina secara serius pada sektor pariwisata. Terlebih, pariwisata menjadi salah satu sektor retribusi pendapatan daerah. Selain pembinaan, tak kalah urgen bantuan penyediaan sarana prasarana bagi start up wisata.
“Dan itu harus diikat melalui payung hukum yang jelas baik perda dan perbup,” tegasnya.
Kepala Bidang (Kabid) Promosi dan Ekonomi Kreatif Pariwisata Disbudpar Kabupaten Cirebon Achmad Bayu Suradilaga memastikan Disbupar telah mengupayakan pembinaan.
“Beberapa kali kami lakukan pembinaan ke setiap desa dan wisata swasta. Kalau di desa biasanya kami lakukan pembinaan pada Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), baik dalam pengelolaan atau pengembangan potensi desa yang belum terbangun wisata,” jelas Bayu.
Meski demikian, Bayu mengakui, pembinaan tersebut baru dilakukan di beberapa desa saja.
Bayu menerangkan, saat ini Disbudpar telah mengajukan perubahan peraturan daerah mengenai rencana induk pembangunan pariwisata daerah (Ripparda). Hal itu bertujuan agar pengembangan kualitas wisata di Kabupaten Cirebon lebih efektif dan efisien. Kehadiran Ripparda diharapkan akan menjadi solusi atas kondisi wisata saat ini.
“Melalui Ripparda kita akan kuatkan wisata kita, agar semakin meningkat sesuai amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata, yang menjelaskan destinasi, pemasaran, industri dan kelembagaan.” terangnya. *par