Kopi Pagi edisi September 2023

Mental Pariwisata

Di Majalah Cirebon Katon Edisi Oktober 2021, saya menulis soal rasa wisata. Di tulisan itu, saya menekankan betapa pentingnya mempersembahkan rasa kepada wisatawan. Tidak usahlah berniat menata pariwisata, jika tak memahami nilai di balik rasa. Karena rasa itulah yang ingin dinikmati wisatawan. Lantas darimana rasa itu bisa dihadirkan?

 

Rasa itu hadir dari insan pariwisata, terutama birokrat, yang bermental pariwisata. Jika mental ini tidak menginternalisasi pada setiap diri aparatur, maka lupakanlah bicara soal penataan dan pengembangan pariwisata di Kabupaten Cirebon.

 

Jika aparatur pariwisata hanya berpikir bagaimana caranya menghabiskan anggaran, tanpa peduli rasa wisata dan kualitas belanja, maka jangan harap potensi pariwisata Kabupaten Cirebon dapat dikelola dengan baik.

 

Dengan begitu lupakan juga keinginan pemerintah membuat Rencana Induk Pariwisata Daerah (Riparda) dalam bentuk Perda. Beberapa kali Raperda ini singgah ke meja saya, berulang kali juga saya koreksi dan minta diperbaiki.

 

Dalam Raperda tersebut, saya belum merasakan adanya rancangan peraturan yang ingin membuahkan rasa untuk dipersembahkan kepada wisatawan. Raperda itu belum lahir dari perenungan yang mendalam dari seseorang atau tim yang berjiwa wisata. Kesan asal kerjaan selesai dan hasil salin-tempel (copy paste) lebih kentara.

 

Lantas seperti apakah karakteristik birokrat pariwisata? Ia harus memiliki pemahaman yang kuat tentang industri pariwisata, termasuk tren, tantangan, dan peluangnya. Juga mengetahui detail destinasi wisata, budaya, dan aset pariwisata lokal.

 

Birokrat pariwisata harus mampu merencanakan dan mengelola program-program pariwisata yang efektif, baik dari sisi perencanaan promosi, manajemen aset pariwisata, dan alokasi sumber daya. Jika membuat desain media promosi saja amatiran, itu merupakan gambaran betapa jauh panggang dari api.

 

Birokrat pariwisata juga harus bisa berkomunikasi dengan baik dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, komunitas lokal, dan wisatawan. Jika menata Kawasan Wisata Religi Gunung Jati saja masih ‘berantem’ terus, maka segeralah ‘belajar membangun jembatan, bukan tembok’.

 

Pariwisata adalah wilayah kreatif. Kreativitas akan melahirkan produk dan promosi wisata yang inovatif. Karena itulah insan pariwisata adalah orang-orang yang bermental bahagia dan memancarkan energi positif. Bukan sebaliknya: kaku, tak peduli, intimidatif, dan arogan.

 

Di era big data ini, kemampuan membaca dan menganalisis data menjadi kunci persaingan pariwisata, baik secara nasional maupun internasional. Kemampuan ini akan memudahkan memahami tren wisatawan, sehingga keputusan yang diambil berdasarkan data dan bukti yang kuat.

 

Industri pariwisata selalu berubah, jadi seorang birokrat pariwisata yang efektif harus siap untuk terus belajar dan mengikuti perkembangan terbaru dalam industri ini. Teknologi informasi bisa sangat membantu untuk akses dinamisasi ini, juga untuk kegiatan promosi dan keparipurnaan pelayanan.

 

Terakhir, birokrat pariwisata harus memiliki kemampuan mengelola krisis dan merespons dengan cepat. Industri pariwisata termasuk rentan terpengaruh oleh faktor eksternal, seperti bencana alam, keamanan, atau perubahan kebijakan nasional maupun regional.

 

Setelah melihat deretan karakteristik dan mental pariwisata di atas, menjadi birokrat pariwisata itu berat ya? Kalau kata anak zaman now: Kena ‘mental’ nih? Makanya, bangun mental pariwisatamu, biar gak kena ‘mental’ terus.

 

Pencarian
Edisi Terbaru 2024
Agustus 2024
Cover edisi Agustus 2024
Juli 2024
Cover edisi Juli 2024
Juni 2024
Cover edisi Juni 2024